Apa kuliner yang Anda buru saat berada di Yogyakarta? Gudeg, lupis, cenil, gethuk? Kalau hanya beberapa panganan tradisional itu, bisa didapatkan dengan sekali dayung saat menyusuri Jalan Diponegoro yang membujur di sisi barat Tugu Pal Putih.
Lupis legendaris Mbah Satinem, terletak di pojokan pertigaan Jalan Bumijo dan Jalan Diponegoro, persisnya di seberang Warung Makan Lombok Ijo. Sejak pukul enam pagi, pelanggan lupis Mbah Satinem rela antre sambil menggenggam nomor urut. Kurang dari dua jam, lupis, cenil, gethuk ludes laris manis. Lupis ini sudah ada sejak tahun 1963.
Lupis Mbah Santinem/Foto: GoTravelly
Mbak Nur melayani pelanggan/Foto: Hermard
Saat di dalam pasar, label yang digunakan adalah "Gudeg Bu Tini", begitu menempati selasar, label berubah menjadi "Gudeg Gongso Bu Tini".
Nikmatnya Gudeg Gongso Bu Tini/Foto: FB Gudeg Gongso Bu Tini
Pembeda lain cukup signifikan, Gudeg Gongso Bu Tini memiliki citarasa tidak terlalu manis. Rasa yang menonjol merupakan perpaduan citarasa pedas dan gurih berasal dari sambal goreng krecek dan kuah areh.
Pedas gurih Gudeg Gongso Bu Tini/Foto: Hermard
Rasa manis Gudeg Gongso Bu Tini berasal dari nangka muda dengan tambahan santan, gula merah, dan sejumlah bumbu dapur lainnya.
Gudeg Gongso Bu Tini dikenal masyarakat sejak tahun 1982. Gudeg dilengkapi berbagai macam lauk berupa daging ayam kampung, telur, tahu atau tempe. Penyajiannya bersama nasi atau bubur, sambal krecek, disiram areh.
Konon gudeg merupakan makanan tradisional, dimasak dengan kesabaran tingkat dewa karena dalam pengolahannya harus terus diaduk perlahan selama delapan belas jam dengan nyala api tidak terlalu besar. Dari proses mengaduk (hangudeg: diaduk-aduk) inilah etimologi munculnya kata gudeg.
Tentu saja selain Gudeg Gongso Bu Tini, Anda bisa memilih gudeg Djuminten, gudeg Pawon, gudeg Bu Tjitro, gudeg Sagan, gudeg Batas Kota, gudeg Bu Ahmad, atau gudeg lainnya di daerah Barek maupun Wijilan. Sungguh, Jogja memang kota gudeg!
*Herry Mardianto