Karya sastra merupakan abstraksi pemikiran dan pengalaman penulisnya. Lewat crita cekak (cerita pendek) "Horn", "Safari", dan "Ledhek" audience mampu membaca pemikiran politik Krishna mengenai Orde Baru dan hegemoni kekuasaan.
Crita cekak (cerkak) Krishna Mihardja selalu tampil dengan struktur cerita tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami pembaca. Kondisi itu setidaknya dapat dicermati dari kehadiran antologi Ratu dan antologi Pratisara. Antologi Ratu merupakan kumpulan cerpen (crita cekak---cerkak: bahasa Jawa), diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, memuat 17 cerkak. Di sisi lain, antologi Pratisara diterbitkan oleh Leutika Prio, Yogyakarta, memuat 28 cerkak---sebagian besar pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat, Mekar Sari, Djaka Lodang, dan Pagagan, serta sebagian kecil lainnya merupakan cerkak baru dan belum pernah dipublikasikan.
Judul-judul cerkak dalam dua antologi tersebut terkesan sederhana, misalnya "Horn", "Ratu", "Sapari", "Sandhal Jinjit" (antologi Ratu), "Kursi", "Topeng", "Kacamata", "Lara Cangkem", dan "Jenengku Asu" (antologi Pratisara). Meskipun demikian, bukan berarti cerkak-cerkak Krishna Mihardja tidak mempunyai nilai lebih.
Kesederhanaan judul dan cara bertuturnya justeru menghasilkan cerkak yang dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia mengejek diri sendiri lewat tokoh-tokoh yang ditampilkan dan di sisi lainnya menohok para penguasa serta masyarakat melalui kritik-kritik sosial dengan cara glenyengan (seenaknya sendiri) tetapi begitu mengena dan terasa tajam mengiris.
Membaca dua kumpulan cerkak Krishna Mihardja, pembaca seperti dihadapkan pada buku kajian sosial budaya dan politik dengan penggambaran berbagai friksi dalam masyarakat Indonesia.
Kejelian Krishna Mihardja memotret momen-momen kejadian dituturkan dengan cara sederhana, mudah dicerna, dibingkai dalam guyonan parikeno. Ia menyindir persoalan pergeseran nilai-nilai tradisi budaya, pemilihan lurah yang tidak lepas dari politik uang, penguasa dengan kegemaran menakut-nakuti masyarakat kecil tak berdaya, dan pemenuhan hasrat perempuan yang akhirnya membuat laki-laki kelimpungan.
Pemahaman cerkak "Horn", "Sapari", dan "Ledhek" berangkat dari keyakinan sastra merupakan pasemon; menampakkan hubungan bebas dengan realitas, merupakan hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural; serta sastra sebagai risistansi terhadap hegemoni negara dan pembangunan.
Asumsi pertama berkaitan dengan gagasan Goenawan Mohammad bahwa sastra merupakan sindiran halus (pasemon), menyarankan sesuatu yang bukan sebenarnya tetapi mendekati sifat tertentu. Dengan demikian, dalam pasemon, makna tidak secara apriori hadir. Makna hadir bukan dengan menceritakan sesuatu "sebagaimana adanya", tetapi dengan menceritakan sesuatu yang lain dari yang sebenarnya hendak dikatakan.
Asumsi kedua sejajar dengan gagasan Mudji Sutrisno bahwa ketika terjadi pergeseran tradisi (kosmologi)---dari pandangan teratur, tertata dan harmonis (dunia agraris), menuju sesuatu yang bergerak tidak pasti, nomade, dislocated (urban) ---maka terjadi dislokasi nilai.
Asumsi ketiga berangkat dari gagasan sastra pada hakikatnya merupakan suatu bentuk sistem interpretatif. Budiawan menggariskan bahwa sastra dapat dipahami dengan melihat sejauh mana ia merepresentasikan dan memisrepresentasikan ideologi dominan. Dalam konteks perubahan sosial, budaya dan politik, dapat dikaji sejauh mana karya sastra merepresentasikan dan atau memisrepresentasikan nasionalisme, pembangunan, dan stabilitas nasional.
Membaca cerkak Krishna Mihardja, pembaca seperti dihadapkan pada buku kajian sosial budaya dan politik, menggambarkan berbagai friksi dalam masyarakat Indonesia. Kejelian Krishna Mihardja memotret momen-momen kejadian dituturkan dengan cara sederhana dan mudah dicerna.
Kegelisahan Krishna Mihardja terhadap ketidakberdayaan masyarakat (khususnya masyarakat Jawa) dalam pembangunan dan pergeseran nilai-nilai tradisi, budaya, serta politik, setidaknya dapat dicermati lewat cerkak "Horn", "Sapari", dan "Ledhek".
Melalui cerkak "Horn"dan "Sapari", Krishna Mihardja menunjukkan bagaimana lewat karya sastra (dalam konteks perubahan sosial, budaya dan politik), ia merepresentasikan atau memisrepresentasikan nasionalisme, pembangunan, penguasa, dan stabilitas nasional saat karya tersebut dilahirkan (tahun 1990-an)---ketika isu mengenai pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru masih hangat diperbincangkan dan dipertentangkan. Di sisi lain, cerkak "Ledhek" memperlihatkan kegelisahan Krishna Mihardja terhadap perubahan masyarakat Jawa dari masyarakat agraris menuju masyarakat moderen.
Tragika Masyarakat di Lingkaran Penguasa dan Pembangunan