Di Yogyakarta, jumlah komunitas begitu berjibun. Hal ini tidak mengherankan karena Yogyakarta merupakan semacam pelabuhan bagi siapa pun yang ingin singgah ngangsu kaweruh mengenai apa saja: sastra, sejarah, pendidikan, klenik, pawukon, sengkalan, situs purbakala, tari, lukis atau bahkan sesuatu tidak terjangkau dalam pikiran kita.
Belakangan ini komunitas yang sempat mencuri perhatian adalah Resan Gunungkidul, komunitas ini sempat menelan pil pahit karena dianggap sebagai komunitas penyembah pohon, bahkan penyembah setan. Padahal Resan (dengan inisiator Edi Padmo) berbasis pada gerakan menanam pohon, konservasi alam--alam merupakan ibu kehidupan. Konsentrasi komunitas Resan terkait dengan budaya menjaga dan menghormati pohon, menjaga sumber mata air.
Komunitas cukup legendaris dalam mengembangkan sastra dan kebudayaan dalam pengertian luas di Yogyakarta adalah Sanggar Bambu dan Persada Studi Klub.
Sanggar Bambu didirikan 1 April 1959 oleh Soenarto PR bersama Kridjomulyo, Heru Sutopo, Mulyadi W dan Danarto. Pilihan kegiatannya meliputi seni rupa, teater, musik dan puisi; baik pameran, pementasan, maupun diskusi. Tahun 1980-an diskusi sastra dilaksanakan secara intens di markas Sanggar Bambu di bilangan Pasar Ngasem.
Beberapa seniman kondang seperti Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Untung Basuki, Putu Wijaya, Arifin C Noer, Linus Suryadi AG, Kusno Sujarwadi, Mien Brodjo, Adi Kurdi, Motinggo Boesje dan Soesilomurti tidak bisa dilepaskan dari peran Sanggar Bambu.
Persada Studi Klub (PSK) diperkirakan lahir pada 5 Maret 1969 dengan inisiator Umbu Landu Paranggi. Komunitas ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan mingguan Pelopor Yogya yang bermarkas di Jalan Malioboro 175 A.
Seniman dan sastrawan yang "menggelandang" di Malioboro akhirnya mempunyai tempat ngobrol di kantor redaksi lantai dua.
Selain Umbu, sastrawan lain yang berperan dalam pendirian PSK adalah Teguh Ranusastra, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono, dan M. Ipan Sugiyanto.
Kiprah Umbu dalam pengembangan dan perkembangan sastra di Yogyakarta begitu besar, sehingga Iman Budhi Santosa dkk. dalam mengantarkan buku Mentiyem : Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi menuliskan: dengan semangat pengabdian tinggi dan tanpa pamrih, Umbu menumbuhkan benih-benih kreator sastra, seni budaya dan kemanusiaan di Yogyakarta dan Bali.
Lepas dari komunitas legendaris di atas, upaya melahirkan penulis dan sastrawan terus dirawat, salah satunya dengan hadirnya komunitas Semak Kata (Sekat). Komunitas ini beranggotakan dua ratus orang lebih penulis pemula dari kegiatan Pelatihan Menulis dan Fasilitasi Penerbitan Buku yang diselenggarakan oleh Balai Layanan Perpustakaan, Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata semak merupakan bentuk tidak baku dari kata simak, bermakna memperhatikan/mendengarkan.
Meskipun masih berusia muda belia, dibentuk pada tanggal 9 Oktober 2022, tetapi kegiatan internal yang dilakukan terus membekali penulis muda berkiprah dalam dunia kepenulisan. Misalnya saja diskusi menulis featur, bedah artikel, bedah featur, menulis cerita pendek. Kegiatan tersebut dikaitkan dengan serangkaian lomba menulis artikel, featur, dan cerita pendek.