Pepatah atau nasihat "diam itu emas" jelas tidak berlaku untuk memompa kreativitas kompasianer yang terus beradu kecerdikan, kecerdasan, keunikan, kehebatan, kepiawaian dalam merebut hati dan perhatian para "aktivis" kompasianer dan admin Kompasiana.
Mungkin pemaknaan kata "diam" akan menemukan kebenaran (meskipun bukan merupakan kebenaran hakiki) saat dikaitkan dengan ajakan Ralph W. Emerson: mari kita diam agar bisa mendengar bisikan para dewa.
Yaps, kita perlu diam, jeda sejenak, agar bisa merenung, mendapatkan ide (dari dewa) supaya bisa melahirkan gagasan baru untuk ditulis. Jika tidak memiliki ide baru, ya lebih baik tidak menulis, jangan ngangsa atau ngayawara. Semua dilakukan demi menjaga marwah tulisan agar tidak menjadi konten ilegal, tayang ulang, plagiarisme.
Admin Kompasiana mencatat terdapat 47.000 artikel melanggar peraturan dari 2.400.000 total artikel tayang sepanjang Januari sampai November 2022. Dalam konteks ini perlu diingat kembali wejangan Charles C. Colton, jika Anda tidak memiliki apa-apa untuk dikatakan, jangan katakan apa pun.
Semoga dari 47.000 artikel pelanggaran itu, tak satu pun milik kita sebagai kelompok pemuja etika dan kebenaran (sic!).
Di platform Kompasiana, seyogianya kita berpegang teguh pada anggapan bahwa keheningan (diam) akan mampu mengucilkan, bahkan menenggelamkan seseorang. Bayangkan di antara 3.300.000 kompasianer (November 2022), kehadiran kompasianer baru tak lebih dari sebutir debu yang siap diterjang dan diterbangkan angin puting beliung.
Agar tidak hilang dari pandangan mata para kompasianer lain, pendatang baru wajib menjalin silaturahmi peseduluran, saling berpegangan erat melalui vote dan bertukar komentar. Pada tataran ini, singkirkan saja jauh-jauh gagasan Epictetus yang menyatakan bahwa diam lebih aman dari pada bicara.
Kompasianer baru dituntut cerewet, banyak bicara lewat tulisan, komentar, dan vote. Tanpa melakukan semua itu, kompasianer baru pasti hanya menjelma sebagai si Pandir yang tersesat ke dalam jurang hantu blau.
Banyak kompasianer baru berharap tulisan mereka dibaca, mendapat vote, menuai komentar. Lucunya mereka hanya berdiam diri karena tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka malu-malu kucing dan segan berinisiatif memberi vote, komentar, atau mem-follow kompasianer lain. Tidak berani nekat menerabas halaman orang lain yang belum dikenal.
Padahal etika semacam itu justeru tidak berlaku di Kompasiana. Pendatang baru dianjurkan memikirkan strategi berani masuk ke halaman orang, terang-terangan melempar batu (memberi vote, komentar) dan mengacungkan (bukan menyembunyikan) tangan agar kehadirannya diketahui.
Di sisi lain, kompasianer dituntut menampilkan tulisan yang mampu menarik perhatian admin Kompasiana, memenuhi standar sebagai artikel pilihan, syukur-syukur menjadi artikel utama.
Tulisan tidak harus ngilmiah, ndakik-ndakik, yang penting memberi pencerahan dan pengalaman baru tanpa membuat jidat berkerut.
Akhirnya, menurut orang bijak, publik akan menilai seseorang pintar atau tidak saat mereka memperhatikan seseorang berbicara terkait dengan hal yang dikuasai, bukan hal yang tidak dikuasai.
*Herry Mardianto