Andai kata pihak keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII tidak terpikat dengan kerajinan logam berciri tradisional hasil sentuhan tangan abdi dalem kriya Kotagede, mungkin kilap perak sudah lama terbenam di antara rumah joglo (lambang kejayaan kekuasaan tradisional Jawa) dan rumah loji (lambang kejayaan pengusaha pribumi).
Sejak abad ke-16 Kotagede menjadi pusat perdagangan cukup maju (Djoko Soekiman); setidaknya ditandai dengan sebutan lain untuk kota ini, yaitu Pasar Gede (pasar besar), pusat perdagangan.
Sebagai pusat perdagangan kerajinan, nama-nama wilayah di Kotagede pun terkait erat dengan nama usaha kerajinan: Samakan (tempat tinggal para pengrajin kulit), Sayangan (tempat tinggal para pengrajin barang dari tembaga dan perunggu), Batikan (tempat tinggal para pengrajin batik), dan Pandean (tempat tinggal para pengrajin besi) dan sebagainya.
Kotagede merupakan kota tua peninggalan kerajaan Mataram Islam yang kemudian terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.
Sebagai kota tua, wilayah Kotagede ditandai oleh keberadaan lorong-lorong sempit memanjang, berkelok, dipenuhi bangunan kuno.
Beberapa di antaranya berupa Omah Kalang, rumah konglomerat Jawa Kotagede dengan arsitektur perpaduan tata ruang Jawa dan corak ornamen Indisch. Omah Kalang tersebar di sekitar Jalan Tegalgendu.
Selain itu, Kotagede tak bisa dilepaskan dari kemonceran kerajinan perak. Munculnya kerajinan perak bersamaan dengan berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram Islam pada abad ke-16. Sebuah prasasti yang ditemukan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa seni kerajinan perak, emas, dan logam telah dikenal sejak abad ke-9 (zaman Mataram Kuna/Hindu).
Di dalam prasasti tersebut termuat istilah pande emas, pande perak, dan pande wesi.
Kedatangan pedagang bangsa Belanda yang memesan barang-barang keperluan rumah tangga (bagi keluarga Eropa) berbahan perak, menjadikan perak Kotagede merambah ke pasaran dunia.
Barang-barang tersebut berupa tempat lilin, peralatan makan minum, piala, asbak, dan perhiasan dengan gaya Eropa bermotif hiasan khas Yogyakarta. Motif tersebut didominasi bentuk dedaunan, bunga, dan lung (sulur). Ternyata barang-barang tersebut diminati orang-orang Eropa. Sejak saat itu berbagai order berdatangan dengan jumlah yang terus melambung.
Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Stichting Beverdering van het Yogyakarta Kenst Ambacht (disebut juga Pakaryan Ngayogyakarta). Lembaga ini memberikan pelatihan mengenai teknik pembuatan kerajinan perak dan pengembangan pasar. Kegiatannya antara lain mengikuti Pekan Raya di Jepang tahun 1937 dan di Amerika tahun 1938.
Perak Kotagede mengalami masa keemasan tahun 1940-an dengan munculnya banyak perusahaan perak, peningkatan kualitas, dan diciptakannya berbagai motif baru.
Perlu dicatat, tumbuhnya perusahaan perak diawali dengan adanya pakaryan perak. Istilah pakaryan perak dimaksudkan sebagai usaha membuat barang-barang seni dari perak.
Semula, barang-barang tersebut dibuat bukan untuk diperdagangkan (apalagi memperoleh profit secara besar-besaran), melainkan sekadar mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usaha pakaryan perak mengalami perkembangan dengan adanya organisasi dan spesialisasi perusahaan perak.
Meskipun begitu, perak Kotagede masih dikerjakan dengan cara sama yang menuntut keterampilan tangan. Setelah mengalami pasang surut, industri perak Kotagede tetap tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas.