Jangan (Pernah) Takut Menulis
Herry Mardianto
Apakah sampai saat ini Anda merasa kesulitan untuk bisa menulis, sesulit mencari jarum dalam sebaskom tepung terigu? Selalu gagal mendapatkan ide atau tidak tahu bagaimana cara memulainya? Bukankah Arswendo pernah mengatakan bahwa menulis itu gampang?
Saya selalu menganjurkan kepada penulis pemula untuk menulis hal-hal yang dekat dengan diri mereka sendiri: apa yang pernah dan sedang dialami, sesuatu yang disenangi, dipikirkan, diamati, dan dirasakan.
Misalnya, cobalah kita bertanya pada diri sendiri: berapa usia kita sekarang? Lima belas, dua puluh, tiga puluh, lima puluh tahun? Sepanjang meniti usia sampai hari ini, niscaya setiap orang memiliki pengalaman hidup menarik, mengesankan, unik, menyebalkan, menjengkelkan, dan tidak mudah dilupakan.
Nah, pengalaman berbeda itu bisa saja menjadi ide terbaik untuk dituliskan. Jika di dalamnya memerlukan kehadiran tokoh cerita (sebagai sebuah kisah), maka kita sendirilah yang menempatkan diri sebagai tokoh cerita dengan sudut pandang orang pertama.
Agar tulisan menjadi menarik, maka penulis harus selalu menambahkan bumbu penyedap (memilih kata, menakar persoalan dengan berbagai referensi, mempertimbangkan penyusunan paragraf), di samping selalu berpegang pada rumus adiksimba: apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana.
Masih juga sulit menulis? Jika demikian, mungkin Anda belum mendapatkan mood. Pada situasi ini harus segera disadari mengenai suasana yang dapat membuat Anda merasa nyaman, bergairah menulis. Kemungkinan diperlukan situasi khusus, misalnya malam hari saat suasana sepi, berada di kamar sendirian sambil mendengarkan musik, membuka laptop senyampang menyeruput kopi, atau mungkin mendengarkan suara hujan sambil mencorat-coret di atas selembar kertas. Suasana khusus perlu dibangun agar seseorang mampu mendapatkan rangsangan demi menggerakan hasrat menulis.
Di sisi lain, wajib diingat bahwa kegiatan menulis tidak mungkin bisa dilepaskan dari persoalan kebahasaan. Sebaik apa pun ide yang dimiliki seseorang, akan menjadi semacam tempe gembus jika ditulis tanpa memperhatikan "kebenaran" unsur-unsur kebahasaan.
Meningkatkan potensi diri di bidang kebahasaan menjadi pertaruhan bagi seorang penulis, baik menyangkut kaidah penulisan, pemilihan kata, maupun penggunaan tanda baca (pungtuasi). Setidaknya penulis mengerti apakah harus memilih kata lubang atau lobang, tahu atau tau; paham bahwa kata ambyar, cie, kepo, lebay, sudah masuk kedalam deretan kosa kata bahasa Indonesia baku. Mampu meletakkan tanda koma yang tepat dalam kalimat "Menurut kabar burung Pak Polan sakit" agar memiliki makna positif dan tidak mempunyai konotasi negatif.
Sebaiknya, menulis diawali dengan kegiatan pramenulis, meliputi pemilihan topik, tujuan, menentukan pembaca sasaran; mengumpulkan data dan fakta; membuat outline (garis besar karangan); serta membatasi topik dengan hal/pandangan tertentu dan tetap fokus pada pokok permasalahan. Pemilihan topik berkaitan dengan persoalan yang menarik perhatian, sesuai dengan bidang yang dikuasai. Penulisan bisa bertujuan memberi informasi, hiburan, ingin menggambarkan situasi, mempengaruhi pemikiran pembaca. Tentu saja tulisan menarik selalu berisi fakta dan data yang diperoleh dari survei lapangan maupun survei pustaka. Outline diperlukan sebagai panduan dalam penulisan, meskipun dalam proses penulisan bisa saja seseorang tidak setia kepada outline.
Tak mengapa jika kita tidak setia kepada outline, asal tetap setia mati kepada garwa, sigaraning nyawa....
Begitu?