Tim Pencari Fakta Mabes Polri sudah menemui Tim Komnas HAM untuk memaparkan temuan dari peristiwa aksi 21-23 Mei 2019 di kantor Komnas HAM, Selasa (11/6/2019). Dari beberapa bagian hasil paparannya menjelaskan sekitar 447 orang diduga menjadi pelaku kerusuhan dan sedang dalam tahap penyelidikan, 67 orang diantaranya berusia anak-anak yang sudah di proses berdasarkan undang-undang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak).
"Nyari keadilan doang sih, biar adil aja. Ya mau nyari keadilan aja," kata RS salah satu peserta aksi 22 Mei di Slipi, Jakarta Barat yang masih berumur 15 tahun.
Anak-anak yang ikut serta dalam aksi 22 Mei tersebut rata-rata masih duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan bisa disebut sebagai Generasi Teknologi (Z) sebab generasi tersebut sejak lahir sudah akrab dengan teknologi informasi dan sudah terkoneksi dengan internet.
Kebebasan memperoleh apapun informasi sudah dirasakan oleh generasi ini, apalagi informasi yang bersifat aktual, berita bohong (hoax), dan memprovokasi. Apalagi informasi-informasi tersebut tidak membentuk karakter dan tidak dapat sebagai referensi dalam pengambilan keputusan.
Lantas, mengapa ada Generasi Teknologi (Z) yang ikut aksi 22 Mei ? Apakah mereka sadar sebab dan akibat aksi tersebut adalah adanya korban ? Hal ini merupakan adanya gangguan berpikir (cognitive) pada peserta aksi tersebut ketika mereka mendapatkan informasi mengenai aksi tersebut.
Gangguan berpikir (cognitive) pada generasi tersebut lebih diakibatkan oleh karakter yang hanya menginginkan suatu hal bersifat instan dan butuh pengakuan dari lingkungan sekitarnya tanpa harus berproses panjang.
Apalagi generasi ini sangat mudah mengidolakan model yang bisa membuat mereka mudah terprovokasi, apapun materi provokasi tersebut baik secara negativ atau positiv.
Aksi 22 Mei 2019 merupakan aksi yang dilakukan untuk menolak hasil pilpres 2019 yang telah direkapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta terhadap calon yang tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, kekecewaan tersebut dituangkan dalam seruan people power, seruan ini disambut pendukung yang kemudian berubah menjadi kerusuhan.
Sehingga bagi sebagian orang beranggapan kekalahan capres-cawapresnya akibat kecurangan dan kebohongan. Opini dengan kata kunci "curang" dan "bohong" pada pilpres tersebut sampai kepada Generasi Teknologi (Z) melalui media sosial yang bisa diakses oleh semua generasi hanya melalui genggaman.
Situasi tersebut berdampak keabnormalan sikap pada anak-anak yang ikut aksi tersebut yang dipresentasikan dengan prilaku yang kompulsif (tidak dapat dicegah), selain itu juga aksi tersebut dapat memberikan pengakuan sosial terhadap diri anak-anak tersebut apabila aksi penolakan tersebut berhasil menjadi aksi yang lebih besar.