Lihat ke Halaman Asli

Herry Dim

Pekerja seni, penulis seni/kebudayaan, dan lingkungan hidup

Rumahku Kantorku: Net Zero Emissions

Diperbarui: 23 Oktober 2021   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Memetik Hikmah dari Pandemi Covid19)

PANDEMI Covid19, tentu saja, menyedihkan, menyakitkan, dan menyengsarakan hampir semua manusia di muka bumi ini. Ihwal riwayat kepedihannya telah kita jumpai setiap hari, terutama manakala pandemi tersebut menunjukan grafik naik atau memuncak di suatu kawasan, itu terdengar sejak periwayatan dari mulut ke mulut, media konvensional, televisi, radio, media online, dan beredar pula di sejumlah media sosial. Maka untuk itu takakan dan kiranya takperlu diulang-ceritakan.

Yang menarik justru hal di sebaliknya dan barangkali pula merupakan hikmahnya. Manakala sejumlah kota di dunia melaksanakan lockdown atau di negara kita menggunakan istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan kemudian pada gelombang pandemi kedua berganti istilah menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), udara di sejumlah kota menjadi lebih segar dan langit tampak bersih. Foto-foto hasil jepretan masyarakat pun bertebar di akun-akun pribadi media-sosialnya masing-masing. Reaksi spontan ini, kiranya, muncul dari ketakjuban melihat alam yang takpernah mereka lihat sebelumnya, langit yang sehari-hari biasa terlihat keabu-abuan kini diperlihatkan dalam foto-foto mereka dengan gambaran cerah berwarna biru yang menawan.

Itu, merupakan reaksi intuitif yang semata-mata muncul atas ketakjuban, disamping tentu saja banyak pula yang menyadari secara rasional bahwa udara menjadi lebih bersih tersebut memberikan kemungkinan kehidupan yang lebih sehat. Searah dengan intusi dan kesadaran awam tersebut, ternyata senada dengan bukti-bukti ilmiahnya. Laporan dari KOMPAS.com (13/12/2020), misalnya, menunjukkan hasil dari sebuah penelitian waktu itu yang menyebut terjadinya penurunan emisi karbondioksida (CO2) tahunan terbesar sejak Perang Dunia Kedua.[1] Sumber yang sama dengan mengutip pendapat Profesor Corinne Le Qur, dari Universitas East Anglia, Inggris, dalam pengamatannya terhadap Perancis dan Inggris, dilaporkan bahwa alasan utama penurunan emisi karbondioksida adalah karena kedua negara tersebut menjalani dua gelombang lockdown yang sangat ketat dibanding dengan negara-negara lain. Yang patut kita catat di sini bahwa sumbangan penurunan emisi terbesar itu dari sektor transportasi. 

Sama sekali taksulit bagi kita untuk memahami hasil studi tersebut, mengingat hal yang sama pun teralami oleh sejumlah kota di tanah air manakala melaksanakan PSBB ataupun PPKM. Foto-foto awam di sejumlah media sosial, pun mempelihatkan bagaimana kosongnya jalanan, takada moda transportasi, bersih dari kendaraan-kendaraan pribadi yang biasanya memadati bahkan menyebabkan kemacetan di kota-kota kita.

 

Rumahku Kantorku

 

Meskipun telah kita ketahui akan jawabannya, ada baiknya kita bertanya: Ke manakah kiranya kendaraan-kendaraan yang biasanya memadati jalanan di perkotaan itu? Jawaban singkatnya, mereka itu WFH atau Work from Home yang artinya melakukan pekerjaan dari rumah.

Seperti halnya segala sesuatu yang baru dan apalagi sifatnya tiba-tiba, WFH pada awal-awalnya tentu saja membingungkan, menimbulkan sejumlah keraguan, bahkan di sana-sini menimbulkan pro-kontra dengan dengung perdebatan yang cukup berkepanjangan. Patut pula diakui bahwa pada awalnya dimulai dengan rasa 'keterpaksaan' karena takada pilihan lain demi menjalankan PSBB/PPKM. Tapi lambat laun sejumlah hal berjalan menjadi biasa bahkan menimbulkan semacam kebiasaan baru, sebut misalnya moda rapat hingga proses ajar secara daring, pun moda belanja makanan bahkan sayur mentahan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Menantu penulis sendiri yang mempimpin retailer seluruh Indonesia untuk sebuah usaha dagang yang berpusat di Spanyol, sepanjang pandemi Covid19, itu melaksanaka pekerjaan-pekerjaannya dari rumah. Secara tidak langsung, ia menjalani konsep 'rumahku kantorku.'

Bagi negara-negara dengan warga yang telah memiliki kesadaran lingkungan hidup, prinsip 'rumahku kantorku' ini telah berjalan dan menjadi kebiasaan pada umumnya, bahkan jauh dan sangat jauh sekali sebelum adanya pandemi Covid19. Suatu ketika pada tahun 1996, misalnya, penulis sempat bertandang ke rumah sebuah keluarga di Nrum, Kobenhavn, Denmark. Pemilik rumah adalah seorang desainer dan istrinya adalah lulusan FSRD ITB tahun1969. Dari sana penulis menjadi tahu bahwa sang desainer mengerjakan seluruh tugas-tugasnya itu di rumah, bahkan ia tunjukan ruang kerja serta peralatan dan seperangkat komputernya. Ingat, saat itu tahun 1996, komputer dan internet belum secanggih zaman kita sekarang ini. Setiap kali usai pekerjaan desainnya, teman kita itu meng-copy-kannya ke keping cakram untuk kemudian diantarkan ke kantor pusat atau kepada klien dengan bersepeda. Ia, dengan ekonomi yang mapan, tentu memiliki kendaraan lain. Tapi bukan keberadaan itu yang hendak dikemukakan di sini, melainkan membuktikan bahwa dengan prinsip 'rumahku kantorku' itu bisa terlaksana Net-Zero Emissions sepenuhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline