Melengkapi tulisan saya sebelumnya mengenai isu infrastruktur dalam debat Pilpres kedua, saya akan mengulas hal yang sama untuk masalah energi.
Kedua Paslon Presiden/Wakil Presiden pastinya tidak berbeda pendapat tentang perlunya energi fosil (batubara dan minyak bumi) untuk diganti dengan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (disingkat energi bersih).
Energi fosil merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, yang dapat mengoyak lapisan ozon di atmosfer sehingga mempercepat perubahan iklim dan menyebabkan pemanasan global. Masalahnya, Indonesia termasuk negara yang paling terdampak oleh pengaruh perubahan iklim. Banyak kota-kota dan pulau-pulau kecil di Indonesia yang berada di tepi laut.
Permukaan air laut yang meningkat akibat pemanasan global akan menyebabkan kota-kota dan pulau-pulau kecil itu tergenangi air laut. Oleh sebab itu harus dilakukan tindakan pencegahan dan penyelamatan seawal mungkin.
Namun energi bersih tidak semurah energi fosil, sementara energi fosil jumlahnya masih besar di Indonesia. Bisa dikatakan kita tinggal menggali batu bara (misalnya dari Kalimantan), mengangkut (misalnya ke Jawa), dan mengubahnya menjadi listrik (melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU) yang teknologinya sudah kita kuasai.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi bersih dalam bauran energi nasional paling sedikit 23 persen pada 2015 dan 31 persen pada 2050. Saat ini energi bersih yang digunakan masih dibawah 20 persen.
Maka persoalan pertama yang perlu dijawab oleh kedua Paslon adalah: Bagaimana mengejar target penggunaan energi bersih sesuai PP 79/2014 tersebut?
Isu berikutnya mengenai dampak lingkungan dari pembangunan energi bersih. Dengan banyaknya gunung api aktif maka potensi pembangunan energi panas bumi cukup besar di Indonesia. Masalahnya, sekitar 70 persen potensi energi geotermal terdapat di kawasan hutan. Pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan begitu dapat merusak ekosistem lingkungan (khususnya hutan) di sekitarnya.
Dapat saja dilakukan pembangunan pembangkit listrik tenaga geotermal yang sedikit merusak lingkungan, namun biayanya bisa jauh lebih mahal daripada pembangunan pembangkit sumber energi bersih lain (air, bayu, surya, ombak, nuklir, dan lain-lain).
Maka persoalan kedua yang perlu dijawab oleh kedua Paslon adalah: Sejauhmana pembangkit listrik tenaga panas bumi (di Indonesia yang kaya akan gunung api aktif) akan dikembangkan dalam jangka pendek dan jangka panjang?
Isu berikutnya mengenai pemerataan pasokan BBM dan ketersediaan listrik. Setiap Paslon tentunya sepakat bahwa BBM dan listrik harus tersedia bagi seluruh penduduk dengan harga yang sama atau tidak jauh berbeda dengan harga BBM di daerah lain. Selain itu, harga BBM dan listrik bagi sebagian masyarakat masih mahal dibandingkan penghasilannya.