Lihat ke Halaman Asli

Herry Darwanto

Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Jika Ekonomi Meredup, Sudah Siapkah Kita?

Diperbarui: 11 Juli 2018   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: taxdonut.co.uk

Pemerintah dan rakyat Indonesia perlu bersiap menghadapi kemungkinan melambatnya perekonomian global pada tahun 2019-2020. Ini adalah pesan yang dapat ditarik dari kajian terbaru Bank Dunia tentang prospek ekonomi global 2019-2020 [sumber].

Menurut Bank Dunia, ekonomi global telah menguat setahun yang lalu tetapi kemudian melunak dalam beberapa bulan pertama tahun 2018 ini. Kegiatan industri dan perdagangan global menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Perkembangan lain adalah kebijakan moneter negara-negara maju menyebabkan kondisi keuangan global yang lebih ketat. Harga minyak juga meningkat lebih tinggi daripada prediksi sebelumnya. Akibatnya, inflasi global merayap bertahap dari tingkatan yang rendah.

Pada tahun-tahun depan ini ekonomi global diprediksi tidak setinggi pertumbuhan pada tahun lalu. Setelah mencapai pertumbuhan 3,1% pada tahun 2018, pertumbuhan global diproyeksikan menurun pada tahun 2019-20 menjadi 2,9%.

Pertumbuhan rata-rata negara berkembang diproyeksikan akan mendatar, mencapai 4,7% pada 2019-2020. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan sebesar 5,3% (2019), lebih baik dari Thailand (3,8%) dan Malaysia (5,1%), namun lebih rendah dari Filipina (6,6%) dan Vietnam (6,6%).

Perlambatan ekonomi global menyebabkan kendala kapasitas akan menjadi lebih mengikat dan inflasi akan terus meningkat. Stimulus kebijakan moneter akan menurun. Harga energi yang meningkat akan memberatkan konsumen.

Kemudian, penurunan kecepatan belanja modal menyebabkan perkembangan perdagangan global yang lebih rendah. Perubahan kebijakan di beberapa negara maju terutama kebijakan pengetatan  moneter dan pelonggaran fiskal di AS akan mendorong kenaikan tingkat bunga pinjaman global. Akibatnya biaya meminjam negara-negara berkembang akan lebih tinggi.

Di antara negara-negara pasar berkembang dan negara-negara berkembang (sering disebut Emerging Market and Developing Economies - EMDEs), pemulihan ekonomi negara-negara pengekspor komoditas tetap terus berlangsung. Negara-negara ini akan tetap mengalami pertumbuhan, namun hanya 45% dari negara-negara ini  yang mengalami percepatan pertumbuhan.

Sejalan dengan mengetatnya kondisi keuangan global, pergerakan nilai tukar yang tidak beraturan menyebabkan negara-negara berkembang yang mempunyai banyak utang luar negeri menjadi rentan.

Meningkatnya biaya pengembalian utang akan menghambat investasi dan meningkatkan resiko ketidakstabilan keuangan. Resiko ini belum tentu terjadi, namun perlu diantisipasi agar tidak memberi dampak yang berat.

Pemberlakuan proteksionisme perdagangan juga meningkatkan resiko. Eskalasi tarif yang menyundul aturan internasional saat ini dapat menyebabkan menurunnya perdagangan global, bisa jadi setara dengan yang dialami pada krisis keuangan global 2008-09. Hal ini bisa memberikan beban yang berat bagi negara-negara berkembang. Kenaikan harga minyak dapat memperbesar defisit neraca transaksi berjalan negara-negara berkembang pengimpor minyak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline