Lihat ke Halaman Asli

Herry Darwanto

Ingin menikmati hidup yang berkualitas

Impact Investing: Berbisnis sambil Beramal

Diperbarui: 9 Februari 2017   17:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: www.merdeka.com

Di sekitar kita saat ini, jumlah penduduk yang termasuk kategori miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata masih sangat banyak, yaitu sekitar 27,5 juta orang. Ini sama dengan jumlah seluruh penduduk negara tetangga Malaysia. Dan dimanapun kita berada, kita kemungkinan akan menemui mereka, karena di perkotaan ada sekitar 8% penduduk miskin dan di perdesaan ada sekitar 14%. Nyaris dari setiap 10 orang yang kita jumpai secara acak, seorang di antaranya hidup dengan sangat pas-pasan. Sudah tentu pemerintah telah berusaha mengurangi kemiskinan dengan berbagai programnya, namun tanpa keikutsertaan masyarakat sendiri, penurunan jumlah penduduk miskin itu dalam waktu 10-20 tahun agaknya sulit terwujud.

Menjadi pertanyaan, bisakah kita membantu orang lain tetapi sambil berinvestasi? Ternyata bisa. Artinya dana yang kita keluarkan nanti akan kembali utuh ditambah sedikit keuntungan, dan disaat yang sama kita telah membantu mengurangi penderitaan penduduk yang tergolong miskin. Kegiatan berbisnis secara sosial inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Impact Investing, atau Investasi yang Berdampak. Yang dimaksud adalah dampak positif secara sosial atau secara lingkungan.

Secara garis besar impact investing dibentuk oleh tiga kelompok. Di berbagai negara biasanya ada orang-orang berpunya yang tidak mementingkan lagi berapa imbal hasil dari dana yang diinvestasikan di suatu perusahaan karena kekayaannya sudah mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka lebih mementingkan meaning daripada money. Dari merekalah sumber dana untuk pengentasan kemiskinan berasal.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang menjalankan usaha dalam bidang yang berkaitan dengan kehidupan penduduk miskin, misalnya membuat peralatan yang berguna untuk meringankan beban penduduk miskin, seperti alat pembangkit listrik, penyaring air kotor, jamban, sepeda multi fungsi, peralatan medis, pengolah hasil pertanian, dan lain-lain. Selama ini, barang-barang itu tidak bisa dibeli oleh penduduk miskin karena penghasilannya yang terbatas. Maka dengan membuat barang-barang tersebut namun dengan harga yang terjangkau, mereka akan sangat terbantu. Setahap demi setahap mereka akan terbebas dari kemiskinan dan dapat menikmati hidup seperti penduduk yang berkecukupan. Pembuat barang-barang ini dapat seorang mahasiswa, peneliti, teknisi, pengrajin, atau orang yang memiliki hobi, yang mempunyai keinginan menghasilkan benda, cara atau peralatan yang berguna bagi masyarakat banyak.

Termasuk dalam kelompok kedua adalah lembaga keuangan mikro lokal yang memberikan kredit kepada masyarakat miskin, kepada kaum wanita, atau bisa kepada kelompok yang selama ini mengalami kesulitan dalam memperoleh kredit dari lembaga keuangan yang ada. Usaha lain yang termasuk dalam kelompok ini adalah pengelolaan pelatihan bagi petani, pengrajin, pengelola desa wisata, dan sebagainya. Entitas yang termasuk dalam kelompok kedua ini bisa berada dimanapun, di negara maju atau di negara berkembang; namun produksinya utamanya ditujukan untuk membantu masyarakat miskin di negara berkembang.

Kemudian masih diperlukan satu kelompok lagi yang mempertemukan kelompok pertama (investor sosial) dengan kelompok kedua (penyedia barang/jasa untuk penduduk miskin). Kelompok ketiga ini umumnya organisasi nirlaba, yang berfungsi menghimpun dana dari kelompok pertama dan menyalurkannya kepada kelompok kedua yang telah diseleksi.

Sinergi antara ketiga kelompok inilah yang diharapkan dapat membantu mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia, termasuk di Indonesia. Berbeda dengan kegiatan bisnis yang konvensional, di sini motivasi utamanya bukan keuntungan namun kegunaannya bagi masyarakat miskin. Pola inovasi bermotif sosial ini berbeda dengan kegiatan bisnis konvensional dalam hal produk yang dihasilkan ditujukan untuk atau berdampak pada berkurangnya beban masyarakat miskin. Jadi penggerak semua kelompok tadi adalah keinginan untuk membantu masyarakat miskin.  

Sebetulnya bukan hanya masyarakat miskin, namun juga kelompok-kelompok dalam masyarakat lain yang dianggap kurang beruntung, seperti penyandang cacat, suku terasing, penderita penyakit tertentu, dan lain-lain. Namun berbeda dengan kegiatan amal (charity), dalam impact investing ini keinginan untuk mendapatkan keuntungan tetap ada, walaupun bukan yang utama. Motivasi yang mendasari usaha bersama ini tidak hanya terkait dengan masalah sosial-ekonomi, namun juga lingkungan.

Salah satu contoh sukses impact investing adalah Miroculus, perusahaan San Fransisco yang membuat alat untuk mendeteksi kanker dengan harga yang lebih murah, lebih cepat, lebih akurat dari alat serupa yang ada di pasaran. Salah seorang pendirinya, Jorge Soto terdorong untuk menemukan alat itu setelah bibinya terkena kanker paru-paru (dapat dilihat di TED Talk). Kisah lain adalah Semtive, perusahaan start-up Argentina yang membuat turbin angin vertikal. Dengan alat ini penduduk pedesaan dapat mengurangi biaya untuk bahan bakar dengan menggunakan energi terbarukan. Semtive sudah mengekspor turbin temuannya ke berbagai negara di luar Amerika Latin. Kedua perusahaan tersebut mendapat kucuran dana dari investor sosial dengan konsep impact investing.

Potensi impact investing cukup besar, dan bertumbuh. Angka sementara yang diperoleh, pada tahun 2013 ada $10.6 miliar dana yang dikucurkan dan para investor akan menambah $12.7 miliar lagi tahun 2014. Berapa dana yang saat ini ditanamkan, mungkin jauh lebih besar lagi sejalan dengan semakin populernya impact investing. Nilai investasi juga kelak tidak ada batas bawahnya. Akan semakin banyak investasi dengan nilai kecil dapat ditampung dalam sistem impact investing. Keunggulan impact investing lain adalah pemberi modal dapat memilih lokasi penduduk miskin yang akan dibantu.

Kegiatan impact investing dapat berimpitan dengan kegiatan lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dengan slogannya The World Free of Poverty. Perbedaaannya, impact investing dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme pasar yang sudah berjalan di suatu negara tanpa melalui birokrasi pemerintahan, sehingga dapat lebih cepat dan lebih luas cakupannya. Bila keduanya bisa berjalan bahu membahu, tentunya dampaknya akan lebih besar lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline