Lihat ke Halaman Asli

Menyikapi Toleransi dengan Ajaran Cinta Kasih Yesus

Diperbarui: 14 Februari 2022   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam budaya. Hal ini patut dibanggakan sebagai kekayaan dan kekuatan yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara kesatuan. Namun, keberagaman juga sangat rentan dan dapat menjadi 'pedang bermata dua' yang justru dengan perbedaan akan meruntuhkan negara kesatuan kita. Pentingnya menjaga kesatuan dari keberagaman sangat diperlukan untuk menjaga kesatuan dari keberagaman yang dimiliki dengan mengembangkan dan mengimplementasikan sikap hidup toleransi.

Toleransi dalam bahasa latin Tolerare yang berarti menahan atau memegang. Dalam bahasa Inggris berubah menjadi tolerance yang artinya menghormati atau menghargai. Sehingga, bersikap toleransi berarti bersikap menghargai atau menghormati perbedaan tanpa paksaan. Untuk menunjukan sikap tersebut, perlu diimplementasikan dalam pikiran, perkataan, serta perbuatan kepada sesama. Bersikap toleransi juga tidak boleh ada paksaan. Namun perlunya kesadaran untuk membangun sikap toleransi pada setiap individu bahwa Indonesia hidup bersama dalam keragaman ini. Sehingga, perbedaan tersebut mampu memberi kekuatan untuk menerima keunggulan dan kelemahan setiap orang.

Namun, belakangan ini sering terjadi kasus intoleransi di Indonesia. Sikap intoleransi berkebalikan dengan toleransi yang menghormati dan menghargai. Menurut Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2019, terdapat 4 faktor yang memperkuat terjadinya intoleransi politik Indonesia, yakni religiusitas, media sosial, fanatisme, dan sekularisme. Menurut Rikardo Dayanto, masalah religiusitas faktor yang menarik untuk dikaji. Hal ini juga dilandasi dengan etika moral sehingga membuat religius sebagai salah satu elemen yang fatal. Selain itu, agama sendiri sebagai elemen mempunyai sifat yang fungsional dan disfungsional. Fungsional di sini berarti menjaga ketentraman dan kedamaian dalam hidup bersama. Begitu pula dengan sisi sebaliknya yang bersifat menghancurleburkan.

 

Agama atau religius menjadi faktor yang sangat fatal karena hal ini menyangkut dengan rasa fanatisme masyarakat yang sangat tinggi terhadap kepercayaan yang dianut. Sehingga mereka menjadi eksklusif dan tidak terbuka terhadap budaya lain karena kecintaan mereka terhadap kepercayaan mereka. Dalam DetikNews tahun 2018, Survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa lebih dari setengah responden (59,9%) memiliki kelompok yang dibenci dan tidak setuju bila kelompok tersebut menduduki suatu posisi dalam pemerintahan. Sehingga menimbulkan adanya diskriminasi agama, terutama dalam politik Indonesia.

 

Hal seperti ini yang dapat menciptakan chaos di mana agama yang bertujuan untuk perdamaian justru menjadi alat dalam berpolitik yang menjatuhkan golongan lain seperti insiden 212. Namun, dalam ajaran Gereja sendiri yang diajarkan oleh Yesus mencerminkan sikap toleransi. Kebebasan beragama tidak bisa dipaksakan. Rm. Purwa, MSF mengatakan bahwa mereka yang beragama politeis tidak bisa dipaksakan menjadi monotheis. Begitu pula dengan kepercayaan mereka masing-masing walaupun itu aliran sesat selama hal tersebut tidak mengganggu HAM orang lain.

 

Dalam ajaran Yesus sendiri yang tertulis di Alkitab, ada perintah untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri dalam Matius 22:39. menerima dan kasih menjadi wujud nyata yang harus dan perlu dikembangkan dalam toleransi sendiri. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Yesus yang wajib dihidupi oleh setiap orang yang percaya. Hal tersebut juga berlaku untuk mengasihi yang membenci kita. Dalam masa Yesus sendiri, orang Samaria dan Yahudi saling membenci sehingga tidak ada toleransi dalam diri mereka. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kasih yang diajarkan Yesus.

 

Para ahli taurat pun sebagai pemimpin juga menggunakan jubah mereka untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak mencontohkan kasih. Mereka hanya mengajarkan isi kitab taurat tersebut dan tidak mencontohkan hidup selayaknya seperti yang tertulis di Kitab Taurat ( Mat 23:3 ). Yesus sendiri menghormati hukum Taurat tersebut, hanya saja para pengajar tersebut gagal dalam mengajar Hukum Musa, namun gagal menjadi teladan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline