Lihat ke Halaman Asli

Melongok Produksi Layangan dari Kampung Babakan – Cimande

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesaat memasuki kampung yang terletak disebelah timur dari jalan raya sukabumi, kampung ini begitu tenang dan sejuk. Secara sejarah kampung ini terkenal sebagai kampungnya pendekar-pendekar cimande, Disinilah cikal-bakal yang melambungkan nama cimande sebagai pusat terapi patah tulang sebenarnya. Sisi lain dari kampung ini ternyata menarik sekali, selain sebagai pusat terapi patah tulang yang tetap mempertahankan ciri, tradisi dan amanat asli dari para gurunya agar tidak berharap imbalan sejumlah uang tertentu ketika menolong orang yang terkena musibah yang berkaitan dengan tulang, ternyata kampung ini juga menjadi pusat produksi layangan. Layangan yang sudah terkenal sebagai mainan tradisional yang mengakar dimasyarakat, saat ini pun bahkan tidak sekedar dimainkan saja oleh orang-orang kampung namun sudah sampai dilombakan dalam festival layang-layang ditingkat lokal ataupun internasional. Bagi saya menemukan sisi lain dari nama besar cimande sebagai pusat produksi layangan adalah sangat mengejutkan, mainan yang menurut saya sudah hampir dilupakan ini tetap eksis dan terus berproduksi. Tumpukan kerangka layang-layang yang begitu banyak juga membuat decak kagum, “luar biasa, saya masih bisa menemukannya” Berkeliling lebih jauh, hampir disetiap rumah para warga kampung dari usia anak-anak, remaja dan orang tua sedang menghaluskan batang-batang bambu yang telah dipotong dengan ukuran tertentu dengan begitu telaten dan cekatan. Pisau-pisau tajam itu menggerus setiap batang-batang bambu yang akan dirangkai menjadi rangka layangan dengan ikatan tali-tali benang jahit. Kebanyakan yang di produksi adalah ukuran 40 centimeter, dikarenakan harga ke-ekonomiannya lebih menjanjikan walaupun kalo dihitung sebenarnya menurut saya masih jauh dari cukup. Fadil, salah satu warga kampung tersebut menuturkan kepada saya bahwa layangan yang masih berbentuk rangka di hargai Rp. 15 (lima belas rupiah), murah sekali bukan? Dengan harga yang minim, berapa kira2 pendpatan yang bisa mereka peroleh? Tentu ini tergantung kemampuan produksi yang membuatnya. Setiap hari para warga ini ternyata mampu membuat rangka sebanyak 2000 buah, jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran produksi non mesin yang membutuhkan kecermatan, ketelatenan dan kecepatan ditambah resiko terkena tajamnya serpihan serat2 bambu dan pisaunya. Artinya pendapatan mereka per hari jika sampai rangka saja baru sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) Rangka-rangka itu kemudian diambil atau disetorkan ke pengepul/agen, kemudian ditambahkan pemasangan kertas-kertas singkong dan diberikan motif pewarnaan rangka layangan agar bernilai lebih. Layangan yang sudah jadi dan siap dipasarkan ini dihargai Rp. 200 (dua ratus rupiah) per buah yang biasa dijual dalam satu bal atau satu karung. Ditingkat eceran layangan dijual Rp. 500,- (lima ratus rupiah ) per buah. Konsistensi untuk terus berkarya patut kita jadikan inspirasi dari para pembuat layangan kampung babakan, walaupun nilai yang mereka dapat begitu kecil dizaman yang serba internet ini tidak menjadikan mereka patah arang dan turun semangat . Spirit menangkap peluang dan senantiasa menjaga kemandirian ekonomi terus meyakinkan mereka bahwa mereka mampu untuk menambah khazanah kehidupan ini. Salam LiFe, Dari lembah Kampung Babakan, Cimande Herri ‘herse’ setiawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline