Lihat ke Halaman Asli

Herri Mulyono

Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Saya, Bung Sulak, dan Sapardi

Diperbarui: 28 Juli 2020   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: CNN Indonesia

Sekarang baru saya tahu, kenapa nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia saya selalu rendah; saya kurang membaca novel-novel Sapardi, lemah menghayati puisi-pusinya dan, mungkin saja, karena saya kurang meresapi rangkaian kata Supardi. 

Bukan hanya Sapardi, karya teman-temannya pun saya sedikit baca. Kecuali karya NH Dini yang membuat saya berimajinasi nakal, dan liar. Senakal-nakalnya, seliar-liarnya. 

Semua orang tahu novel itu, Pada Sebuah Kapal! Tapi, kurang pahamnya saya tentang pelajaran bahasa Indonesia karena Sapardi, itu cuma akal-akalan saya saja. Ide akal-akalan ini saya pinjam diam-diam dari tulisan AS Laksana tentang Supardi di Kumparan.  

Ya Tuhan, bung Sulak - begitu orang memanggil AS Laksana, kenapa dia itu begitu pintar  mengurai kata, mengalur cerita. Bahasanya sering membawa saya terbang meninggi, berimajinasi dari deskripsi yang dia buat dengan detail yang begitu sempurna, walau pada akhirnya menjatuhkan saya kembali dari langit, ke bumi, dengan sebuah realitas; saya juga belum bisa menulis sebagus itu. Sakit sekali rasanya jatuh dari langit setinggi itu.  

Saya ingin sekali belajar menulis dari seorang penyair kondang seperti bung Sulak. Sayang sekali, saya ga punya nyali untuk ikut kelas menulis bung Sulak yang sering dia tawarkan. Bukan karena masalah uang loh ya, tapi tentang komitmen menulis yang sangat dia jaga. 

Bukan hanya kepada dia pribadi, tapi juga kepada murid-murid di kelas menulisnya. Saya rasa saya ga sanggup. Apalagi kelasnya sudah disesaki oleh para wartawan senior dan segudang penulis profesional. Saya lihat satu persatu nama-nama dikolom komentar dan profilenya. Bisa mati kutu saya disitu!

Bung Sulak idola saya, walau sejujurnya, saya sedikit sekali membaca tulisan bung Sulak. Tapi jangan salah, saya mengikuti ceritanya tiap kali dia bagikan didinding Facebook. Saya telah mengatur bunyi bel bila bung Sulak tetiba berbagi sebuah tulisan, didinding Facebook miliknya itu, walau kadang sering juga terlewat. 

Tentang pelajaran menulis, tentang penjurian, dan yang paling seru, tentang kritiknya kepada bung Goenawan Muhamad tentang posisi Sains kemarin-kemarin itu. Saya baca tulisannya sampai habis. Bagus sekali. Ya iyalah, dia sastrawan! Saya hanya berani nge-like tanpa berkomentar, nyali saya ciut ketika menulis huruf pertama!

 
Lagian tidak penting juga apakah bung Sulak perlu tahu saya ngintilin ceritanya dengan taat. Yang penting bagi saya sendiri, saya bisa belajar dari dia. Seperti ketika menulis cerita ini, saya ikuti gayanya, walau ga sempurna. Mudah-mudahan bung Sulak tidak baca! Malu saya!

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline