Lihat ke Halaman Asli

Herri Mulyono

Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Nasib Si Nyamuk Gendut

Diperbarui: 26 Juli 2020   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

linkedin.com/public-profile/in/bobsutton1

Nasib si Nyamuk Gendut

Saya paling greget dengan si nyamuk gendut. Tepatnya si nyamuk berperut gendut dengan kulit berwarna merah. Bukan yang hitam. Sebenarnya bukan kulitnya yang merah. Tapi kemerahan. Perutnya kenyang berisi darah. Iya, darah. Darah yang dia hisap. Dari tubuh saya. Yang sedari sore duduk di depan toko.

Si nyamuk gendut ini memang jadi incaran saya. Saya incar agar dapat digampar. Entah kenapa dendam sekali dengan nyamuk gendut itu. Saya dapati si nyamuk sulit terbang. Tentu sulit dengan perut gendutnya itu. Dan akhirnya. Plakk... Si nyamuk berhasil saya gampar. Badannya remuk. Darahnya berceceran. Dan saya pun lega.

Tapi kadang. Si nyamuk ditarik nasib untung. Dia bisa kabur. Saya kejar-kejar tidak hasil juga. Si nyamuk lari. Lari dengan darah yang dia sudah curi. Dan saya jadi keki. Keki se keki kekinya. Ga rela darah seujung upil itu berhasil diperintil.

Tapi si nyamuk gendut berkirim surat. Sebelum saya gampar. Katanya, nasib nyamuk ya begitu. Mencari nafkah saja sampai direwangi nyawa. Nyawa yang kalau hilang tidak akan kembali lagi.

Kata si nyamuk gendut. Teman-teman saya banyak yang kaya dia. Maksudnya, nasibnya hampir sama. Berangkat kerja buru-buru. Motor dipacu. Berburu waktu. Mungkin temen saya itu tau. Yang dipacu itu berharga nyawa. Yang sekali hilang tidak kembali lagi. Kaya si nyamuk gendut. Tapi saya sih tidak tahu. Apa yang diburu itu lebih berharga dari nyawanya.

Temen yang lain memburu-buru kerjaan. Kerjaannya numpuk kaya bukit batu. Tinggi banget. Siang-malem dikerjain sama kerjaan. Sampe lupa makan. Lupa minum. Ga tau juga apa lupa sama kerjaan. Tetiba kerjaannya selesai. Dia yang jatuh sakit. Sakitnya panjang. Dan sehatnya sulit lagi kembali. Kasian juga. Mirip kaya si nyamuk gendut. Tapi saya sih juga tidak tahu. Apa kerjaannya itu lebih berharga dari sehat dan keluarganya.

Saya mengangguk-angguk aja. Sambil mikir surat dari si nyamuk gendut. Juga sambil bersyukur. Alhamdulillah.

Di ujung surat si nyamuk mewanti-wanti. Bukan mewanti-wanti buat tidak digampar. Tapi jangan sampai bernasib sama. Senasib kaya si nyamuk gendut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline