Lihat ke Halaman Asli

Herri Mulyono

Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Whatsapp, Dakwah, dan Sekumpulan Agnostic

Diperbarui: 21 Mei 2018   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

i2.wp.com

"Menjadi agnostik jauh lebih menarik dari pada berada dalam sebuah komunitas yang selalu menebar kebencian dan hal-hal yang sia-sia"

Demikian kutipan kalimat seorang teman sebelum memutuskan keluar dari grup whatsap. Kalimat penutup sederhana, tapi menjadi begitu berharga bagi saya pribadi. 

Whatsapp mungkin sudah menjadi bagian dalam kehidupan dijaman digital sekarang ini. Sebagai media bersosialisasi dan berinteraksi, dalam model private maupun publik dalam ragam grup-grup yang memang dibuat untuk tujuan-tujuan tertentu. Mulai dari silaturrahmi, kelompok diskusi, group pekerjaan dan lain-lainnya. 

Dan warna diskusinya pun sangat beragam, dari yang adem ayem, sampai panas tak karuan. Mungkin 90% dari group whatsapp yang saya ikuti bertemperatur hangat sampai panas. Dari oborolan yang remeh temeh sampai ujaran politik oleh orang yang tidak ahli politik sama sekali. Dan dalam dunia sosial media seperti facebook dan whatsapp yang sering saya ikuti, batasan-batasan mana yang harus di bagikan dan mana yang tidak begitu abu-abu. Semua merasa perlu dibagi dan semua merasa perlu diketahui. Dan, semua punya hak beropini, ... walau yang beropini itu tidak memiliki kapasitas yang memadai sama sekali untuk memunculkan opini.

Dalam dakwah whatsapp pun demikian, .. semua ingin berdakwah, semua ingin menebar kebaikan. Namun dengan versi dakwah dan kebaikan masing-masing yang begitu egois. Sehingga, nilai-nilai nasihat yang seharusnya menjadi renungan dan kesadaran menjadi alat pembenaran dari kebenaran dalam versi tertentu. Kondisi akhirnya sudah pasti dapat ditebak: perdebatan yang sering perdebatan kusir, saling merendahkan, klaim kebenaran dan yang menyedihkan, menciptakan ruang saling menebar kebencian. Terlebih perdebatan dimulai dari materi-materi "dakwah" yang copy paste hasil broadcast, atau internet yang sering sulit divalidasi kebenarnannya. 

Atau, akhir cerita dari perdebatan via whatsapp yang penuh keterbatasannya itu sederhana, "left" dari group. Baik "left" secara permanen ataupun kemudian sementara karena diundang kembali. Dan beberapa hari kemudian "left" lagi. Nasihat yang keluar pun klasik: "dewasa mensikapi"... walau sampai saat ini saya masih bertanya-tanya "dewasa menurut versi siapa?"

Bolak balik mengikuti diskusi panas yang seharusnya tidak panas membuat saya seringkali berpikir: ternyata berdakwah itu tidak sesederhana yang saya pahami. Perlu memiliki literasi berdakwah sebelum mulai berdakwah, selain dari materi dakwah yang akan disampaikan itu sendiri. Salah-salah berdakwah malah bisa memicu kondisi seperti diawal tulisan saya ini. Sejatinya agama itu air yang menyejukkan, tapi (mungkin) karena cara berdakwah yang tidak baik itu justru menggambarkan hakikat agama yang jauh dari nilai sucinya. 

Berdakwah oke, dan memang harus dilakukan. Tahan jempol, jika memang mudharatnya lebih banyak. Jangan selalu bergumentasi sederhana bahwa kebenaran itu pahit. Ingat, obat-obatan modern itu manis rasanya!

Memberikan kue yang lezat pun akan menjadi hal buruk bila kue itu diberikan dengan cara dilempar.

Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan ilmu/hikmah, pelajaran/teladan yg baik, dan berdialog/berdebat dengan cara yg lebih baik.Al-Qur’an (An-Nahl:125): 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline