Ketika anak seorang teman mendapatkan sertifikat pena dari sekolahya di bilangan University of Leeds saya tidak percaya, dan sering bertanya-tanya. Mengapa sampai ada sertifikat pena dan harus diberikan kepada siswa untuk level tertentu?
Sertifikat pena adalah sertifikat yang diberikan kepada seorang siswa sebagai pertanda bahwa dia (mulai dari waktu pemberian sertifikat) boleh menggunakan ballpoint (pulpen), setelah pensil. Dengan kata lain, sertifikat pena adalah sertifikat atau izin boleh menggunakan ballpoint, bukan lagi pensil.
Saya mendekati guru-guru Azra dan Fariz yang kebetulan bersekolah di dua tempat yang berbeda: Beecroft Primary School dan Sacred Heart Catholic Primary School, Leeds. Berbisik-bisik tentang sertifikat pena ini. Mereka menjelaskan dengan baik kepada saya yang awam. Logika sertifikat pena itu sebenarnya sederhana.
Yaitu, bila seorang siswa sudah lihai dalam menulis, sedikit membuat kesalahan; maka ia diperkenankan (diizinkan) untuk menggunakan ballpoint. Hal ini tentu saya dapat pahami dengan mudah. Goresan kesalahan dengan pensil mudah diperbaiki, dan dihapus bila benar benar salah. Tapi kalau ballpoint, susah. Dicoba dengan penghapus yang kasar akan rusak, ditutup dengan sticker akan mengurangi keindahan. Maka, kata mba mba guru tersebut, sebagian sekolah menerapkan metode sertifikat pena.
Mungkin sederhana, ... dan konsepnya sangat mudah diterima logika. Namun bagi saya, sertifikat pena ini bukan sekedar izin menggunakan ballpoint, tapi lebih dari itu, muatan psikologinya sangat mendalam. Tentang dua hal: berbuat kesalahan dan kedewasaan. Siswa ditanamkan pemahaman tentang "berbuat kesalahan", "menghapusnya" dan bagaimana bersikap untuk "tidak (mengurangi) berbuat salah". Semakin kecil peluang berbuat salah, semakin naik tingkat kedewasaannya.
Terlebih dalam jaman now yang membebaskan orang menggunakan jempol sebagai alat kreasi. Diatas tuts tuts smartphone. Disetiap akun sosial media, yang diikuti. Tanpa kenal batas saring (filter) dan berbagi (share). Tidak peduli judul grup yang diikuti. Yang penting bisa beropini dan share. Tidak peduli bila yang diopinikan salah dan bukan keahliannya. Yang penting eksis. Walau sering lupa bahwa mereka menggunakan "ballpoint" bukan "pensil" dalam merangkai kata dalam catatan digital.
Saya kadang diam, dan banyak berpikir. Apa orang-orang kaya diatas sudah punya "Sertifikat Pena" ketika sekolahnya dulu? Atau pun kalau punya, jangan sertifikat pena-nya nembak dan abal-abalan.
Apakah mereka tidak sadar kalau jempol-jempol mereka telah merangkai kata yang sukar dihapus dalam jejak diigital?
Ah sudahlah, ... yang penting HP sudah di mute, dan di clear regular.
Terus kapan ya saya bisa dapat sertifikat pena?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H