Lihat ke Halaman Asli

Herri Mulyono

Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Perbaikan Jalan (yang justru) Meresahkan

Diperbarui: 10 November 2015   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber foto: foto.inilah.com"][/caption]

Lalu lintas dibilangan gang kecil Jalan Bugis dan Warakas Jakarta Utara mulai ramai disela-sela perbaikan jalan yang sedang berlangsung. Sejurus kemudian, lalu lintas kian padat dan akhirnya berujung pada kemacetan.

Badan jalan di dua tempat yang saya sebutkan diatas sebenarnya tidak 'benar-benar rusak'. Memang ada beberapa titik retak, tapi menurut saya sebenarnya masih bisa diperbaiki pada titik-titik tertentu tanpa harus ditinggikan. Atau mungkin karena kasus bajir besar yang menimpa beberapa waktu lalu? Entahlah. Tapi kalau demikian alasannya, sebenarnya yang harus di fokuskan adalah perbaikan sistem drainase pada saluran-saluran air yang berkurang performanya, bukan dengan perbaikan atau peninggian jalan.

Perbaikan jalan melalui metode peninggian (menambahkan material baru diatas badan jalan lama) memang mudah dan sangat simple. Selain dana yang diperlukan melalui metode ini relatif lebih murah dan dapat dilakukan (diselesaikan) dengan cepat.

Namun, metode peninggian bukan tanpa masalah. Terutama dampak negatif badan jalan baru bagi masyarakat yang tinggal di pinggir-pinggir jalan. Badan jalan yang kian meninggi 'menggerus' rumah-rumah dipinggir jalan. Peninggian jalan yang mencapai 30-50cm perlahan tapi pasti akan menenggelamkan rumah warga dalam beberapa kali program perbaikan. Akibatnya warga berlomba-lomba 'meninggikan' rumah seiiring dengan perbaikan dan peninggian jalan. Tapi bagaimana dengan warga yang kurang mampu? Alih-alih membantu warga dengan perbaikan jalan, justru warga menanggung derita lantaran air hujan yang langsung menerobos masuk kerumah mereka yang kini lebih rendah. Karena sering sekali program perbaikan ataupun peninggian jalan tidak diimbangi dengan program penanggulangaan dampak perbaikan jalan bagi masyarakat, seperti perbaikan saluran air.

Sebagai pembanding, mari kita lihat bagaimana perbaikan jalan di ruas-ruas tol. Umumnya perbaikan jalan dilakukan dengan cara 'mengganti' beton lama yang rusak dengan yang baru, bukan menambah material pada jalan yang telah rusak. Mengapa hal ini dilakukan oleh para pengembang jalan tol. Sejauh yang saya perhatikan adalah karena alasan keamanan. Bukan hanya keselamatan bagi para pengguna jalan tol yang melaju dengan kecepatan tinggi, tetapi juga beban yang harus ditanggung oleh pondasi jalan tersebut. Penambahan material baru justru dapat menyebabkan jalan baru tidak awet karena jalan yang lama tidak tuntas di bongkar.

Memang tidak dapat di generalisir bahwa program perbaikan jalan selalu dengan metode peninggian. Tapi kenapa banyak tempat yang saya temui, selalu menggnakan metode ini. Termasuk di depan rumah saya sendiri. Padahal, metode ini jelas-jelas berdampak negatif setelah jalan selesai diperbaiki. Terutama ketika waktu hujan. 

Bila perbaikan jalan (dengan mengganti materi jalan lama dengan materi baru yang lebih baik) di ruas tol dapat dilakukan, mengapa hal yang sama tidak dapat dilakukan pada program perbaikan jalan di daerah-daerah, khususnya di Jakarta? Bila alih-alih mengatasi agar jalan tidak tergenang, bukankah sebaiknya sistem drainase jalan yang harus diperbaiki dan meng-edukasi masyarakat tentang sampah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline