Lihat ke Halaman Asli

Herri Mulyono

Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Kita Butuh Sekolah Cepat Tanggap

Diperbarui: 7 Oktober 2015   05:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar: Dokumen pribadi"][/caption]

Tadi pagi telepon saya berbunyi. Setelah diangkat, dari sekolah Raafi rupanya. Kata pihak sekolah, Raafi lupa membawa bekal makan siangnya. Dan tentunya, saya diminta untuk segera mengantar packed lunch ke sekolah beberapa jam sebelum waktu makan siang. Sesaat setelah menerima telepon, saya terdiam sejenak. Merenung dan berpikir-pikir. Bagaimana sekolah bisa tahu Raafi lupa membawa Packed lunch nya? Kalau saya jadi gurunya, mungkin saya baru sadar bila Raafi tidak bawa bekal makan siangnya pas ketika murid-murid sudah mulai makan dan Raafi hanya terdiam karena tidak menemukan makanannya. Tapi ini tidak, pihak sekolah bisa cepat tahu, tanpa menunggu waktu makan siang, dan tentunya mencegah Raafi dari rasa laparnya. Dan saya pun harus berlari segera mengantarkan packed lunch yang tertinggal itu.

Beberapa waktu yang lalu saya juga pernah mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi dari pihak sekolah. Karena memar di bagian kepala Fath akibat bercanda dengan saudara-saudaranya. Rupanya, guru fath disekolah benar-benar memperhatikan apa yang terjadi pada anak didiknya. Bukan sekedar, kemajuan belajar cognitif dan psikis nya saja. Tapi juga "kemungkinan-kemungkinan" (baca faktor) lain yang dapat mempengaruhi aktivitas belajar Fath. Termasuk luka memar Fath itu. Alhasil, tiap kali ada "kecelakaan kecil" dirumah, apakah memar, luka terjatuh dan lainnya, saya harus menuliskan "laporan" dibuku komunikasi orang-tua dan guru. Bila tidak, .. bisa repot urusannya. Bahkan gegara anak tidak masuk sekolah saja orang tua bisa berurusan dengan polisi.

Beberapa waktu belakangan ini kita sering mendengar terjadinya kekerasan yang terjadi pada anak, baik disekolah maupun di rumah. Khusus pada kasus Angelina yang lalu, saya teringat wawancara guru Angelina di sebuah talkshow televisi swasta. Dalam wawancara itu, guru Angelina memaparkan bahwa ia melihat luka memar pada tubuh Angelina. Ia pun bercerita bahwa ia jarang berkomunikasi dengan orang tua Angelina. Yang mengejutkan saya adalah, kenapa mereka diam saja. Terlebih sudah ada "indikasi" masalah pada diri Angelina. Tapi, sekali lagi, kenapa mereka diam? Diam tanda tak peduli?? Bila saja guru-guru itu bertindak, mungkin nasib Angelina akan lain.. mungkin saja.

Saudaraku, dunia kita ini semakin hari semakin invidualis, dimana orang ego-ego diri semakin meninggi. Tak jarang terjadi benturan ego, antara kita dengan orang lain, atau bahkan kita dengan anggota keluarga yang lain. Konflik, saling memanfaatkan, atau saling mengabaikan, adalah beberapa dari dinamika hidup di dunia individualis tersebut. Bagi orang dewasa, dengan pikiran dan tenaganya, mereka dapat mencari alternatif lain untuk merespon kondisi tersebut. Tapi, bagi anak kecil, dengan keterbatasan pikiran dan tenaganya, apa yang dapat mereka perbuat? Hanya ada dua: diam atau menangis. Mereka tidak akan meminta bantuan kita, karena memang mereka tidak tahu apa dan bagaimana caranya menghindar dari kekerasan yang menimpa diri mereka. Mereka hanya meminta kita untuk peduli, peduli akan nasib mereka, nasib anak-anak yang disatukan oleh persaudaraan satu keturunan Adam. Lalu, masihkah kita peduli? ‪#‎pedulianak‬

*Setelah mengantar makan siang ke sekolah, baru saya tersadar. Raafi kan lagi puasa. Haduh... lupa, kebanyakan mikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline