Buya Hamka lahir di Sungai Batang, Maninjau, Provinsi Sumatra Barat, pada hari Minggu petang yang bertepatan dengan malam hari Senin, tanggal 16 Februari 1908. Dia mempunyai nama lain saat kecil dengan sebutan Abdul Malik dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang ulama yang bernama Dr. Haji Abdul Karim Amrullah.
Ayahnya sengaja memberinya nama Abdul Malik tujuannya untuk mengenang anak dari seorang guru ulama besarasal Nusantara, Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkawabi di Makkah.
Ayah Hamka menikah dengan Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana merupakan kakak Safiyah yang meninggal dunia di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri bernama Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia yang berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam dunia politik melalui Organisasi Islam Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan. Menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.
Buya Hamka bergelar Doktor setelah lulus dari Universitas Al- Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Ia juga kukuh sebagi guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Remaja Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian dengan meninggalkan pendidikannya di Thawalib dan menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewati perantauan, Hamka kembali ke Padang Panjang dan membesarkan Muhammadiyah.
Hamka berprofesi menjadi aktivis dakwah hingga jurnalis. Tercatat, dirinya pernah menjadi wartawan dari berbagai surat kabar seperti, Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Panji Masyarakat. Dalam dunia kepengarangan, Hamka terkadang juga menggunakan nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki.
Soal ini disebutkan pada laman Badan Bahasa Kemdikbud. Sebagai seorang yang berpikir maju, Hamka produktif dalam menyampaikan ide-ide yang cemerlang melalui ceramah, pidato, dan berbagai macam karya dalam bentuk tulisan. Beliau telah menghasilkan sebanyak 85 karya tulis.
Putra Hamka yang bernama Rusyi menyebutkan bahwa keseluruhan karya Hamka sebanyak 118 jilid tulisan sudah dibukukan. Ini masih ada yang belum terkumpul dan dibukukan, tercatat dalam 'Pribadi dan Martabat Buya Hamka' ,tahun 1983.
Buya Hamka Tentang Poligami
Dalam wacana seputar poligami, Buya Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang sepanjang hidupnya, tidak pernah berpoligami, tercatat beliau menikah lagi beberapa tahun kemudian setelah istrinya berpulang. Hal ini ia lakukan setelah berdiskusi dengan seluruh anak-anaknya. Atas pertimbangan Buya Hamka sudah mulai berumur dan seluruh anak-anaknya sudah berkeluarga, akhirnya Buya Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah, perempuan yang menemaninya hingga akhir hayat sang Sufi.
Satu lagi yang menarik dari Buya Hamka adalah di semasa hidupnya sebenarnya ia beberapa kali ditawarkan untuk melakukan poligami oleh sang Ayah, namun dengan halus ia menolak. Apa yang dilakukan Hamka semata karena ia menarik pelajaran dari apa yang dialami orang tuanya, khususnya ibu kandungnya akibat perceraian.