Pengantar
Judul pada tulisan/artikel ini akan menggelitik lelucon kepada para pembaca di dalam wilayah Kota Kupang dan sekitarnya. Mungkin juga masyarakat Nusa Tenggara Timur yang belum terbiasa dengan rumah titip jenazah atau rumah duka.
Inspirasi tulisan/artikel ini ada ketika saya tiba di suatu perumahan yang dibangun oleh Pengembang (Developer). Bangunan (rumah-rumah) saling berhimpitan dan tentu saja nyaris tanpa halaman. Jalan di depan rumah-rumah yang dijejer itu lebarnya kira-kira 4,5 meter. Dugaan ini mucul karena tenda yang dibangun tidak dapat saling bersanding sepasang. Masing-masing tenda berdiri sendiri, hingga sebahagian jalan yang panjangnya kurang lebih 100 meter pada blok itu.
Di perumahan yang demikian padat itu, lantas ada hajatan (pesta) dipastikan akan menggunakan jasa hotel dan sejenisnya yang dapat menampung tamu dalam jumlah besar. Lantas, bagaimana bila suatu peristiwa kematian?
Bagaimana pula yang terjadi di dalam lingkungan wilayah Rukun Warga dan Rukun Tetangga masyarakat kota? Apakah semua bangunan rumah masih menyisakan halaman yang cukup untuk menampung tamu/undangan pada suatu hajatan dan hari berkabung?
Pada masyarakat kota Kupang (mungkin saja) masih ada tempat walau harus menggunakan pendekatan "dinyaman-nyamankan" saja.
Kota Kupang butuh Rumah Titip Jenazah
Kota Kupang tidak wajib baginya untuk meniru beberapa kota besar di Indonesia di antaranya kota Surabaya yang mempunyai Grand Heaven layaknya hotel berbintang. Grand Heaven merupakan satu bangunan megah dan mewah yang disiapkan agar keluarga berduka dapat memanfaatkannya ketika anggota keluarga meninggal dunia dan masih akan menyiapkan upacara penguburan satu atau dua hari berikutnya. Demikian halnya dengan rumah duka Husada di Jakarta, bahkan telah banyak rumah duka di kota Jakarta, sehingga memungkinkan anggota masyarakat (keluarga) yang berduka dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
Sekali lagi Kota Kupang tidak wajib baginya untuk meniru secara utuh menyeluruh, tetapi perlulah kiranya untuk melakukan kajian yang melandasi olah pikir bahwa saatnya Kota Kupang mempunyai rumah titik jenazah. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan Studi Kelayakan.
Studi kelayakan perlu untuk memastikan bahwa wilayah kota dengan pemukiman padat penduduk, dapat saja ada ekses tertentu yang dapat mengganggu keharmonisan masyarakat secara komunal. Dalam studi kelayakan, hal-hal yang patut menjadi atensi misalnya:
- Infrastruktur jalan (gang) yang melancarkan mobilisasi orang dan kendaraan. Akses jalan sebaiknya tidak ditutup atas alasan kedukaan (kematian/masa berkabung). Sangat sering gang-gang ditutup atas alasan ini, lalu pengguna jalan dimohon (atau sering pula dipaksa) untuk memaklumi situasi ini, karena akan bergiliran pada waktu yang akan datang.
- Psikologi Sosial masyarakat perkotaan. Masyarakat perkotaan rasanya mulai mengendurkan kekerabatan dalam hidup bersama. Pemukiman yang padat penduduk kurang memberi jaminan rasa nyaman. Bila satu keluarga (tetangga) mempunyai hajatan (pesta) maka pilihannya menggunakan penyedia jasa hajatan yang disebut Wedding Organizer dengan menggunakan bangunan seperti : auditorium, aula mall, hotel, resto dan lain-lain tempat yang memungkinkan hajatan tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan. Berbeda jika kematian menyapa, tentulah para tetangga wajib "harap maklum", karena kondisi yang sama akan berlaku pada waktu yang akan datang. Masa berkabung yang paling pendek yakni 3 - 9 hari (atau sering pula mencapai 40 hari ada kalangan tertentu) di dalam masyarakat Kota Kupang. Tidakkah hal ini mengganggu ketenangan dan kenyamanan setelah siang hari bising deru mesin lalu lintas di jalan raya dan berisiknya suara/bunyi-bunyian lainnya?
- Budaya mete masyarakat kota Kupang yang sangat kental. Dampak dari mete secara psikologi sosial.