Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Menyambut Pelayat Duka a-la Masyarakat Adat Alor Barat Laut

Diperbarui: 4 Juni 2024   09:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di ruang duka dan di halaman rumah duka, kolase foto: Roni Bani

Hari itu, Jumat (31/5/24), say a tiba di Lawahing di rumah keluarga Messakh Tang. Kami bercerita ala orang baru bertemu tentang penerbangan dari Kupang ke Kalabahi dan perjalanan darat dari Kalabahi ke Lawahing. Ibu Tang menyuguhkan beberapa gelas kopi panas. Kami menyeruput kopi sambil bercerita. Di antara jedah cerita, bapak  Soleman Tang adik dari bapak Messakh Tang menyampaikan bahwa  ada kedukaan di desa tetangga. Jadi, keluarga besar Tang (sebagai satu sub suku) akan melayat. Maka, saya berketetapan hati untuk turut serta.

Satu unit mobil pikap telah diparkir di jalan aspal lapen yang hancur. Keluarga Tang (orang tua, kakak, adik, ipar, sepupu) menumpang pada pikap ini. Mereka membawa tanda duka berupa sehelai kain tenun, seekor kambing, beras dan sayur secukupnya. 

"Kita naik baru turun." demikian yang disampaikan bapak Messakh Tang.

Benar, jalan menuju tempat kedukaan sedikit menanjak, lalu pada titik tempat lain mulai menurun hingga tiba di desa Otvai Kecamatan Alor Barat Laut. Menurut informasi, Kecamatan Kabola pada mulanya merupakan bagian dari Kecamatan Alor Barat Laut. Pemerintah Kabupaten Alor memekarkannya menjadi Kecamatan Kabola dan Kecamatan Alor Barat Laut.

Pikap diparkir di jalan di depan Kantor desa Otvai. Terlihat ada baliho seorang Jenderal  (TNI AD) dengan gaya khas militer dalam sosialisasi Gerakan Jaga Alam dan Air (GEJALA).

 Keluarga Tang masuk ke rumah duka. Ada sambutan menarik, seorang ibu berdiri di depan pintu rumah duka. Menangis. Sementara sebarisan anggota keluarga berdiri menyambut kami dengan salam jabat. Kami menyalami mereka hingga tiba di dalam ruang tempat di mana jenazah dibaringkan. Tangisan dan ratapan merebak. Anggota rombongan sub suku Tang terlihat menangis pula.

Pada sudut pembaringan terlihat tumpukan kain tenunan. Kain-kain tenunan itu dibawa oleh rombongan keluarga-keluarga pelayat. Hal yang sama juga oleh keluarga Tang. Mereka membawa sehelai, dan hendak disatukan pada tumpukan itu, namun seorang peratap menghalangi. 

"Bentang di atas jenazah!" demikian permintaan itu diucapkan dalam bahasa daerah. Saya tanyakan pada bapak Messak terjemahannya. 

Seorang ibu, anggota rombongan keluarga Tang membentang kain tenunan itu di atas jenazah.

Kami telah melayat. Semua anggota rombongan boleh mengambil posisi duduk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline