Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Memberi Makna pada Duol Masyarakat Lawahing Kabola Alor

Diperbarui: 5 Juni 2024   08:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duol (Mezbah) satu di antaranya | Foto: Ansel Bani

Pengantar

Ketika berada di desa Lawahing, di sana sedang diadakan persiapan pembentukan desa baru. Desa Lawahing akan dimekarkan menjadi dua desa, dan akan disebutkan namanya, Desa Lawahing dan Desa Lawahing Barat. Proses sedang berlangsung, dan bangunan Kantor Kepala Desa (Persiapan) Lawahing Barat sudah selesai dibangun, siap menyambut Peraturan Daerah Kabupaten Alor untuk menjadi desa definitif pada waktunya.

Dalam masa sehari, Sabtu (1/6/24) ketika berada di desa ini, terbersit niat untuk bertanya beberapa hal ketika sedang bercerita dengan anggota masyarakat yang ditemui. Dari percakapan dengan Kepala SD Negeri Lawahing, terdengar istilah mezbah bertingkat, bahkan ada tujuh tingkatannya. Mezbah itu disebutkn sebagai milik sukunya. Sungguh disayangkan, sudah tak terpelihara lagi.

Satu lagi yang didapakan dari cerita tentang mezbah didapatkan dari Messakh Tang, Edi Matebang dan Agustina (isterinya Edi), serta Agustinus. Mereka mengisahkan tentang mezbah yang dapat dikunjungi. Dari sana, lahirlah inspirasi menulis ketika mengingat adanya tingkatan/strata dalam masyarakat.

Duol sebagai Situs

Saya belum dapat memastikan berapa banyak duol (mezbah) suku-suku masyarakat Kabola pada umumnya dan Lawahing secara khusus. Satu kepastian dari cerita beberapa orang yang ditemui, masing-masing "mengagungkan" duol yang dimiliki keluarganya sebagai tempat yang "sakral" sehingga tidak mudah untuk dikunjungi. 

Mensakralkan tempat-tempat itu sedemikian rupa sehingga penampakan wujud/fisik permukaannya sudah ditumbuhi belukar. Dampaknya, duol hanyalah nama, lalu dijadikan sarana pengkeramatan hingga jauh dari jamahan tangan untuk dipelihara. Padahal, bila dipelihara, akan berdampak pada perkembangan budaya masyarakat dengan mengais-ngais nilai yang mengkristal di dalamnya dan dijadikan inspirasi dan motivasi bagi kehidupan suku atau anak suku, dan membias pada kehidupan bermasyarakat, berpemerintahan dan beragama.

(Bila saja) Pemerintah Desa Lawahing (dan kelak) Desa Lawahing Barat rindu melestarikan kebudayaan masyarakat, kiranya dimulai dari apa yang (izinkan saya menyebut) disebukan sebagai situs. Seberapa banyaknya duol di dalam dua wilayah desa Lawahing dan Lawahing Barat, sesungguhnya para duol itu merupakan kekayaan budaya. Kekayaan budaya itu menyimpan nilai kehidupan bersama (sosial), keberagamaan (religi), dan etika lingkungan (ekologi). Mungkin saja masih dapat ditemukan hal lain di dalamya.   

Duol sebagai situs akan berdampak pada pengembangan pembangunan destinasi wisata. Jumlah yang belum dapat dipastikan, tetapi dipastikan masih ada di dalam rimbunan belukar, sangat disayangkan. Pemerintah secara berjenjang, khususnya Pemerintah Desa, Kecamatan dan Kabupaten layak untuk memperhatikan situs-situs ini.

Menurut penuturan beberapa anggota masyarakat yang ditemui, salah satu duol sebagai situs telah direnovasi, dengan pendekatan bangunan artifisial lainnya di sekitarnya. Pada mulanya, kunjungan wisatawan lokal bahkan manca negara sempat meramaikan situs ini. Sungguh disayangkan, situs ini pun ditutup oleh karena:

  • akses jalan yang belum mendapat sentuhan yang menarik minat pengguna jalan dengan kendaraan bermesin
  • bangunan dengan anggaran besar tidak merepresentasi budaya konstruksi masyarakat lokal.
  • fasilitas pendukung belum tersedia seperti: sanitasi dengan air bersih yang tersedia setiap saat; warung yang menyediakan makanan, 
  • belum tersedianya petugas terdidik/terlatih yang juga sekaligus memiliki pengetahuan dan ketrampilan managemen pemasaran.
  • yang terakhir ini yang bersifat mistik. Diinformasikan bahwa roh para leluhur kecewa. Kekecewaan itu disampaikan di dalam mimpi.

Keterbatasan pengetahuan dan keyakinan adanya roh para leluhur yang menjaga dan mengkeramatkan lokasi dan bangunan duol sebagai situs, diceritakan secara terus-menerus. Hal yang demikian, justru menjadi "hantu" pada kaum muda, sehingga motivasi untuk "keluar" dari kungkungan dan lingkaran kehidupan para leluhur tidak dapat ditembus.

Maka, pengunjung mulai menarik diri dari sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline