Pada tahun 2009 seorang sahabat datang jauh-jauh dari Austtralia bersama rombongan pelayanan gerejanya. Mereka tiba di Kupang, yang selanjutnya diarahkan untuk bersama kami di gereja lokal, GMIT Jemaat Pniel Tefneno' Koro'oto. Ketika mereka tiba di Koro'oto, anak-anak Sekolah Minggu di seluruh wilayah Klasis Amarasi Timur sedang mewujudkan satu program kebersamaan. Program itu disebut Jambore PAR (Pelayanan Anak dan Remaja). Jadilah kami kolaborasikan dalam pelayanan bersama itu untuk anak-anak dan remaja se-Klasis Amarasi Timur.
Pengalaman yang sungguh mengesankan. Rombongan pelayanan yang dipimpin oleh sahabat kami ini mementaskan satu teater yang sangat indah dan berkesan. Teater itu berkisah tentang seorang manusia yang ditarik ke dalam dunia keberdosaan. Iblis menguasai seluruh hidupnya. Gelap. Hidupnya sesuka hatinya, meresahkan kalangan kerabat dan sahabat.
Seseorang yang lain terus mendoakannya, hingga pada suatu titik waktu, Yesus Sang Penebus menghampiri. Iblis yang menguasainya pun keluar, melepas belenggunya, dan bebaslah manusia itu dari dosa-dosanya. Ia disambut kembali oleh kerabat dan sahabat, hingga sorga pun bersukacita.
Teater yang mengesankan ini tersimpan rapi dalam benak hingga kini.
Sepulangnya rombongan ini ke Australia, beberapa bulan kemudian Sang Sahabat kembali. Kali ini ia sendirian. Ia membawa alat-alat pemotretan.berhubung profesinya sebagai fotografer. Ia tinggal bersama kami selama beberapa hari di rumah, bermain bersama anak-anak, dan membuat sejumlah besar foto dan video. Lalu pulang ke Australia.
Lama kami tak bertemu, tetapi produk dari foto-foto yang ia buat kemudian kami dapatkan melalui para sahabat di Unit Bahasa dan Budaya GMIT Kupang. Produk itu berupa buku yang berjudul, Saya anak Timor. Buku ini terbit pada Februari 2010. Isinya bercerita tentang seorang anak bermama Lui, adik dan ayah-ibunya, kebiasaannya bermain dan membantu orang tua, hingga kesukaannya pada tari tradisional. Tari tradisional itu disiapkan dan dipentaskan saat pesta pernikahan, di mana Lui menari bersama teman-temannya untuk menyambut pengantin.
Menurut kabar yang kami terima, buku itu dicetak sebanyak 3000 eksemplar. Buku itu dikirim ke sekolah-sekolah dasar di banyak tempat di Australia untuk memperkenalkan bahasa dan budaya Indonesia, khususnya sebahagian kecil masyarakat Timor Barat.
Lama tidak bertemu.
***