Pengantar
Setiap etnis memiliki entitas tertentu yang membedakannya dengan etnis lainnya. Tiga di antara entitas yang membedakan yakni bahasa yang digunakan,bentuk fisik, dan nama. Bila mendengar percakapan dalam bahasa daerah tertentu, orang mulai menduga-duga asal-usul mereka yang sedang bercakap-cakap. Bila melihat tampilan orang dengan postur, warna kulit, model rambut, orang menerka asal daerah, dan bila mendengar nama disebutkan dugaan asal daerah pun terbersit.
Nama, menjadi identitas dari tiap orang. Nama dalam masyarakat adat penghuni pulau Timor bagian Barat, ada penanda yang membedakan dengan etnis lainnya. Nama dalam etnis Timor (Atoin' Meto') dikenal ada tambahan di belakang nama yang sama untuk setiap rumpun keluarga. Nama di belakang itu menjadi penanda akan entitas rumpun keluarga (umi).
Sangat variatif dan banyak nama yang melekat rekat pada setiap orang penghuni pulau Timor bagian Barat, khususnya pada masyarakat adat Timor.
Pada tulisan ini, saya akan fokus pada nama anak dalam masyarakat adat Pah Amarasi di Timor (bagian Selatan). Nama anak dinyatakan sah-tidaknya untuk menyandang nama rumpun keluarga melalui proses tertentu di dalam hukum adat.
Selayang Pandang tentang Pah Amarasi dan Masyarakatnya
Pah Amarasi merupakan salah satu wilayah ke-usif-an di dalam pulau Timor pada masa lampau. Pemimpinnya disebut uispah sebagaimana umumnya di wilayah ke-usif-an lainnya di Timor, kecuali sebutan untuk Liurai di Wewiku Wehali (Belu dan sekitarnya). Pah Amarasi mengalami perubahan struktur pemerintahan dari pemerintahan yang bersifat adat-istiadat menjadi pemerintahan yang terstruktur ketika bersentuhan dengan bangsa-bangsa di dalam Nusantara serta bangsa Eropa: Portugis dan Belanda.
Sebutan Pah Amarasi berganti menjadi Kerajaan Amarasi dan Uispah menjadi raja. Sementara sebutan para pemimpin kampung yang semula 'nakaf berganti menjadi Temukung, dan beberapa istilah lainnya seperti: haema'kafa', barmenen, punu'-atu', pika'-sono', poni-poni-nepat, amnasit. Istilah-istilah ini berhubungan dengan tugas yang diterimakan kepada seseorang atau sekelompok orang. Gelar kepada raja pun disematkan oleh pendatang dari Eropa/Portugis. Gelar Don disematkan kepada raja. Don ditempatkan di depan nama.
Kerajaan Amarasi mengalami degradasi secara politis ketika bersentuhan dengan Belanda, dimana Kerajaan menjadi Swapraja. Masyarakat kurang mengetahui hal ini sehingga tetap menyebut Uispah kepada rajanya, dan para wakil raja di daerah disebut Fetor dan pemimpin kampung tetap disebut temukung.
Sebutan-sebutan ini hilang ditelan zaman ketika Swapraja Amarasi menjadi bagian intergral dari NKRI. Swapraja Amarasi menjadi Kecamatan Amarasi dengan menggabungkan 60 (ada pula yang menyebut 62) wilayah Kemukungan. Penggabungan wilayah ketemukungan membentuk 23 wilayah desa gaya baru.