Anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau istilah lain, Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) sudah diberlakukan sejak Juli 2005 sebagai wujud perhatian Pemerintah Pusat kepada satuan-satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia. Hal ini sejalan dengan peraturan yang berlaku di antaranya UU Otonomi Daerah dan UU Sistem Pendidikan Nasional.
"Keluhan" satuan-satuan pendidikan tentang minimnya anggaran untuk operasional menjadikan mereka harus membebani orang tua murid dengan pungutan yang disebut Sumbangan Pembangunan Pendidikan (SPP). Besaran SPP tiap satuan pendidikan berbeda, baik oleh karena jenjangnya maupun konteks masyarakat di sekeliling satuan pendidikan itu berada. Ketika itu Pemerintah Daerah mengizinkan adanya pungutan itu, dan satuan-satuan pendidikan memanfaatkannya untuk kepentingan operasional. Di samping itu, Pemerintah Daerah pun turut memberi perhatian dengan anggaran yang agaknya boleh disebutkan sebagai seperlunya saja. Maka, ketika itu ada istilah sekolah bersubsidi.
Sejak BOS/BOSP diberlakukan, kampanye sekolah gratis digemakan bukan saja oleh para kepala daerah tetapi juga oleh mereka yang berada di ranah politik praktis. Satuan-satuan pendidikan wajib membuat spanduk/baliho yang menginformasikan bebas pungutan. Artinya, setiap orang tua murid yang mendaftarkan anaknya di satuan pendidikan akan mendapatakan keringanan seringan-ringannya dari aspek pembiayaan pendidikan.
Sampai di sini BOS/BOSP berimplikasi pada masyarakat. Masyarakat pendidikan khususnya orang tua murid telah berada di area ringan karena digratiskan. Padahal, Pemerintah melalui anggaran yang disediakan itu bukan untuk membebaskan sebebas-bebasnya, justru itu disebutkan sebagai anggaran minimal untuk operasional pendidikan tiap murid/peserta didik pada tiap satuan pendidikan. Artinya, masih terbuka ruang dan peluang untuk memungut dari masyarakat melalui kesepakatan dengan orang tua murid.
Kesepakatan orang tua murid dengan pihak sekolah harus dilaporkan kepada Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Adakah satuan pendidikan yang melakukan pungutan tambahan itu membuat laporan? Pasti ada! Satuan-satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah (Negeri/Inpres) yang ingin cepat "naik kelas" dalam tampilan dan isi, membutuhkan suntikan anggaran pembiayaan tambahan. Sumbernya dari orang tua murid. Laporan pertanggungjawabannya pun kepada orang tua murid.
BOS/BOSP yang diberikan oleh Pemerintah Pusat yakni melalui Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) harus dimanfaatkan sebaik-baiknya ketika kampanye sekolah gratis gencar dilakukan. Penerimaan BOS/BOSP sebagai satu-satunya anggaran minimal yang dikelola oleh satuan pendidikan, harus benar-benar dimanfaatkan sesuai perencanaan. Maka, peranan tim pengelola anggaran BOS/BOSP pada satuan pendidikan sangat urgen.
Setiap tahunnya Kemdikbudristek akan mengeluarkan Peraturan Menteri sebagai Petunjuk Teknis (Juknis) Pengelolaan anggaran BOS/BOSP. Juknis yang demikian akan disosialisasikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Provinsi melalui Dinas Pendidikannya. Sosialisasi diikuti dengan wanti-wanti pemanfaatan tepat sasaran, tetap waktu pula laporannya. Padahal, banyak kendala dihadapi oleh para pengelola yakni Tim Managemen BOS/BOSP di satauan pendidikan.
Tim Managemen BOS/BOSP pada satuan pendidikan terdiri dari: Kepala Sekolah, Bendahara BOS, Bendahara Barang, Ketua Komite dan seorang guru. Merekalah yang merancang pemanfaatan anggaran BOS/BOSP sesuai Juknis yang dikeluarkan Kemdikbudristek. Di antara pos-pos pembiayaan semisal:
- bahan habis pakai (alat tulis-menulis kantor, kebutuhan KBM, dll)
- honor tenaga guru dan tenaga kependikan non ASN
- belanja barang modal yang urgen (laptop, desktop, alat kesenian, alat olahraga, varian KIT, Literatur, dll)
- pemeliharaan (ringan dan sedang) sarana dan prasarana
- kegiatan ekstra kurikuler
- pengelolaan dana bos (administrasi dan managemen)
- dan lain-lain
Dari sejumlah hal di atas, pengelolaan dan pemanfaatan anggaran BOS/BOSP terasa mudah. Ternyata tidak semudah dibayangkan, kecuali pada satuan pendidikan yang di dalamnya ada pegawai administrasi dengan status kepegawaian ASN. Ada di antara para pegawai ditugaskan untuk menjadi Bendahara (Pengeluaran) BOS/BOSP. Sementara pada satuan pendidikan dasar (sekolah dasar), berapa banyak pegawai administrasi yang ditugaskan oleh pemerintah daerah (Kabupaten, Kota) ke sana?
Satuan-satuan pendidikan dasar, khususnya sekolah dasar ketiadaan pegawai administrasi. Kepala Sekolah menjadi edukator, motivator, fasilitator, manager dan administrator. Dapakah dibayangkan kerumitan tugas yang demikian? Mari pembaca memposisikan diri di tempat itu? Mungkin terasa mudah, bukan?