Aku susuri jalan-jalan di kota
kota makin megah nan mewah
Aku tengok kiri dan kanan di kota
masyarakat kota makin keren
Aku telisik ke dalam gang sempit
kaum dan puak memasang terali
candi dan graha megah tegak nan kokoh
kompetisi tampilan tiada terhindarkan
Aku tengadah bertanya pada awan
telah demikiankah rupa dan wujud kaum kota
bukankah tahun-tahun lalu mereka berpuak?
Mengapa tangan makin pendek terulur
ketika telapak tangan bertadahan di bibir gang?
Awan menggeser posisi duduknya
melumat aksara sebelum disemburkan
agar barisan kata menjadi indah dalam hembusan
saat itu aku mendengar bisikan jawabanya,
Mereka menggeser nilai hidup bersama
menjunjung nilai hidup kemewahan
sambil menabur janji bermuatan asa
hendak meraih singgasana gengsi martabat
Aku memicingkan mata pada sang surya
padanya kugumamkan nada sinisme
ia berbalik padaku menebar senyum senja
manakala ufuk menyambutnya
lalu ia bersaksi padaku tentang insan mulia
memajang wajah senyum manis di gang dan lorong
mengaksesori kota dengan gaya mentereng
lalu pulang mengais kembali energi yang sirna
sambil mengambangkan mimpi meraih impian
pada kemewahan dan kemegahan harga diri kelak
Umi Nii Baki-Koro'oto, 18 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H