Kemarau berkepanjangan menghiasi cakrwala alam pedesaan. Pepohonan menggugurkan daun masing-masing. Mereka bagai mengerang, meohon pada Sang Khalik agar menolong mereka dengan cucuran air langit. Ternak-ternak peliharaan melangkah lemah ketika menuju sumber-sumber air. Peladang linglung menunggu datangnya musim tanam. Peternak lunglai mencari pakan.
Langit menunjukkan keperkasaannya. Awan tak dapat tiba di hadapannya untuk sekadar memohon permisi agar melintas. Awan menepi. Bila ada segumpalan mengarak mendekat, ia akan segera tercabik-cabik menjadi serpihan lalu menghilang. Sungguh suatu pemandangan yang mencengangkan mata.
Ketika pagi hari tiba, matahari menyembul di balik bebukitan. Anak-anak peladang berdiri di bukit dan lereng di mana ladang sudah bersih siap ditanam. Mereka mengarahkan pandang pada sembulan bola pijar besar yang mengusir kabut pagi. Embun bertahan beberapa saat saja, ketika cahaya sang matahari tiba dan menyentuh permukaan bumi. Anak-anak peladang kembali ke dalam huma menikmati bubur pagi, lalu siap berangkat ke sekolah.
Anak-anak peladang tiba di sekolah. Bersua dalam komunitas kaum siswa, bergurau hingga saling menyakiti sebagai suatu pemanddangan biasa di sekolah. Laporan keributan hingga menyakiti tiba di meja guru. Guru sigap menyelesaikan persoalan mereka secara bijaksana. Sesudahnya mereka berdamai, saling tersenyum dan bergurau lagi. Pelajaran pun diterima dengan menyemburkan sukacita, walau terlihat beberapa orang tidak selalu ada dalam suasana hati yang demikian. Mereka butuh perhatian lebih dari gurunya.
Siang hari tiba, anak-anak peladang sudah selesai mengikuti pelajaran di sekolah. Mereka pulang membawa beban sebagai anak peladang di pedesaan. Mereka akan membantu orang tua menimba air, membersihkan rumah, mencuci perlengkapan makan, dan selalu saja ada celah waktu untuk bermain bila tidak ditugaskan mencari pakan ternak atau mengambil kayu kering sebagai bahan bakar. Semua ini sudah menjadi kebiasaan anak-anak pedesaan yang rerata orang tuanya peladang sambil beternak seperlunya.
Desember tiba, cucuran air langit tiba. Anak-anak bergirang. Para peladang mencerahkan wajah. Rasanya kaki dan tangan serta seluruh anggota tubuh ringan digoyang dan digerakkan. Malam menjadi amat panjang bila hujan menderas. Badan tak rindu rebah, mata tak suka dipejam.
Ternak-ternak peliharaan mendongak bagai bersyukur ketika cucuran air langit dicurahkan. Kilat tak dihiraukan, guntur tak dipedulikan. Semua itu memberi warna pada suatu budaya alam yang sudah menjadi hafalan dalam darah dan daging kaum peladang. Bersyukur pada Sang Khalik sambil mengingat nasihat dan peringatan-Nya agar mereka bukan saja mengusahakan untuk mendapatkan manfaat yakni pangan, namun juga wajib untuk memelihara, menanam pepohonan dan bukan membabat hutan hingga bopeng di mana-mana.
Pepohonan mulai menunjukkan pucuk-pucuk hijau muda. Rerumputan yang terbaring dalam tidur panjang pada musim kemarau segera bangkit bersama menghunjukkan tunas berujung lancip mendongak. Keindahan dipertontonkan oleh segenap ciptaan Sang Khalik.
Alam desa dengan bebukitan dan ngarai, lembah yang menyimpan terjal-terjal bekas longsoran menjadi panu pada pemandangan hijau kebiruan di kejauhan. Jalan berkelok dibuat oleh masyarakat, pemerintah dan pihak pengembang membantu membuka akses menjadikan jalan setapak atau jalan motor menjadi jalan tani yang dapat dilewati kendaraan roda empat. Masyarakat senang, bumi menangis, hewan liar bergeser sesaat menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan dendam.
Bunga flamboyan memamerkan keindahan. Kaum dan komunitas di Timor menyebut namanya dalam bahasa lokal, sepe. Mekarnya bunga sepe memberi tanda akhir tahun segera menjelang. Kaum Nasrani segera akan mendirikan pohon-pohon natal dalam segala ukuran untuk perayaan hari kelahiran Yesus. Pohon sepe di pedalaman tak ditanam, ia tumbuh liar di mana-mana.