Pakaian Tradisional sebagai Nasionalisme atau Primordialisme
Nusa Tenggara Timur disingkat NTT, sering diplesetkan akronim ini dalam beberapa versi yang sifatnya ada yang kurang elok, tapi ada pula yang menarik. Misalnya, Nusa Tenun Tais. Kata tais dalam bahasa Meto' (bahasa Timor) artinya, kain. Jadi NTT, Nusa Tenun Tais, Kain. Maksudnya, semua etnis masyarakat di dalam pulau-pulau berpenghuni memiliki ragam corak motif yang diterakan pada lungsinan benang, kemudian ditenun. Hasilnya mencengangkan.
Pembuktiannya terlihat ketika Presiden NKRI, Ir. H. Joko Widodo mengenakan pakaian tradisional asal Nusa Tenggara Timur seperti dari Sabu dan Timor Tengah Selatan (Amanatun). Ketika ia menjabat Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, ia berkunjung ke Nusa Tenggara Timur, tiba dan bertemu dengan masyarakat peternak sapi di Pah Amarasi. Masyarakat menyambutnya dengan mengenakan destar di kepalanya, dan melilitkan kain tenun di tubuhnya. Tampilannya menjadi menarik.
Baru saja pada tanggal 17 Agustus 2023, anak dari Uispah Amarasi pewaris sonaf ke-usif-an Amarasi, Yesaya Maurits Robert Koroh didaulat sebagai pemenang pertama busana tradisional. Pengumuman itu terjadi pada upacara memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan NKRI ke-78 di istana Merdeka. Betapa kebanggaan masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat Pah Amarasi yang tersebar di 4 kecamatan, dan di seluruh wilayah NKRI. Bukankah hal yang demikian turut menaikkan derajat kaum pengrajin tenun ikat?
Pada tataran yang sama, para pengrajin baik perseorangan maupun kelompok tenun ikat di pelosok kampung hingga titik-titik kampung tenun dalam kota Kupang dan kota-kota Kabupaten terus bergairah. Kedai dan toko pernak-pernik souvenir dan pakaian khas ragam etnis makin banyak pengunjungnya. Mereka tidak lagi lesu karena menunggu pembeli. Aliran pesanan mengalir kepada mereka. Para penata busana pun mulai bergairah bahkan sejak Presiden Ir. H. Joko Widodo untuk pertama kalinya mengenakan pakaian traidional pada acara resmi kenegaraan.
Semua gambaran di atas, tentu saja masih membutuhkan riset lebih lanjut untuk memvalidasi dan memverifikasi, namun fakta yang terlihat dan dirasakan demikian adanya. Masyarakat sudah mulai menyadari betapa martabat mereka bagai didongkrak naik ketika mengenakan pakaian khas etnis yang beragam itu, sekaligus hendak menyatakan kepada dunia luar bahwa inilah Indonesia. Mungkinkah berpakaian ala Western lebih bermartabat daripada pakaian ala Eastern?
Mari sekadar berefleksi, ketika dunia Barat belum merambah tanah Nusantara, bagaimana suku-suku bangsa di Nusantara menata busana mereka? Apakah mereka berada beberapa langkah di depan dalam hal berbusana? Bukankah peradaban Timur telah berada di depan sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat? Maka, tentulah suku-suku bangsa yang tergabung dalam wilayah-wilayah hukum adat memiliki busana yang khas mereka.
Ketika dunia Barat merambah dan menjelajah dengan jargon kejayaan dan kemuliaan, emas dan perak, injil dan pemenangan jiwa kepada Kristus, mereka memperkenalkan tata busana baru. Keberadaan mereka di bumi nusantara dengan intervensi dan internalisasi hal-hal baru termasuk tata berpakaian, perlahan dalam kepastian mendegradasi dan menggerus busana khas tiap etnis. Walau demikian, tidak serta merta menghapusnya secara utuh menyeluruh.
Pola dan desain baru diperkenalkan oleh etnis-etnis nusantara sehubungan dengan pertautan dalam dunia perdagangan antar pulau dan benua. Jadilah perubahan itu terjadi, dan pada titik masa tertentu, tiap etnis berkesimpulan dan mengambil keputusan tentang kekhasan pakaian tradisional mereka. Itulah kiranya yang menyebabkan pakaian tradisional atau pakaian adat tiap etnis di Nusantara ini bervariasi, dari penutup kepala , badan secara keseluruhan, tangan dan kaki. Anggota tubuh dibalut dengan pakaian yang menarik ditambahkan dengan aksesoris tertentu yang mencirikan etnis itu sendiri. Maka, mereka akan tampil dengan bangganya di hadapan publik dengan pakaiaan seperti itu. Oleh karena itu, pemakainya akan dikenal dari tampilan berpakaiannya. Hal ini menjadi pengetahuan bahkan di dalamnya terkandung ilmu yang dapat "digalai" untuk memperluas cakrawala pengetahuan.
Jadi, berapakaian ala etnis di bumi Nusantara, Indonesia bukanlah sesuatu yang mendegradasi nasionalisme, bukan pula hendak menonjolkan primordialisme, justru hendak menunjukkan heterogenitas bangsa melalui pakaian tradisonal/pakaian adat.
Kebijakan Baru Gubernur NTT terkait Pakaian ASN
Pada April 2019, Gubernur NTT, Victor Bungtilu Laiskodat mulai mewajibkan ASN di seluruh lini pelayanan publik untuk mengenakan pakaian tradisional pada setiap Selasa dan Jumat. Ada alasan sederhana yakni, pakaian itu akan menjadi pembuka jalan mulus kepada masyarakat pedesaan untuk tidak sungkan ketika mendatangi instansi-instansi pelayanan publik di bawah Pemerintah NTT. Di samping itu ada imbas atau dampaknya yakni peningkatan pendapatan masyarakat kelas bawah yakni para pengrarin tenun ikat. (sumber)