Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Sang Filsuf (2)

Diperbarui: 5 Agustus 2023   11:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi; Sumber: https://open.spotify.com/

Hari berikutnya datang. Pagar rapat dan mepet yang melingkari Sang Filsuf sobek. Sang Filsuf keluar dari kurungan pagar itu dan mulai bernyanyi di halaman yang tidak seberapa luas. 

"Aku tahu satu hal, publik tidak memahami apa pun yang terjadi sebagai metode olah pikir. Pikiran itu harus dipertengkarkan. Bagaimana mengetahui olah pikir jika pikiran tidak boleh dipertengkarkan? Tapi, sudahlah! Aku dapat memahami bahwa telah terjadi kecemasan publik. Biarkan diriku ini menyampaikan ma'af, sekali pun pada kamus besarku tak tertulis kata itu." Pernyataan pertama keluar dari mulut Sang Filsuf.

Video beredar ke mana-mana. Kaum muda menggosok dan menggeser layar android. Di sana terlihat ada  yang mengeryitkan dahi, ada pula yang menggelengkan kepala. Di kota-kota huru-hara terjadi dalam gaya yang khas menyambut pernyataan Sang Filsuf beberapa hari sebelumnya. Video pernyataan terakhir yang pada intinya meminta maaf bagai rumusan kalkulatif menghindari tali perangkap yang akan menjerat leher.

Panca Kakek menggeser-geser kaki masing-masing keluar dari gubuknya. Kelimanya kelihatannya sedang berada di dalam tangan pemegang alat kontrol yang menghidupkan dan menggerakkan. Mereka menuju ke tempat biasanya mangkal. Pohon besar di bibir kampung. Pohon rindang yang memberi kesejukan, tempat mereka bercengkerama di masa tua. Mereka tidak lupa untuk membawa tempat sirih-pinang miliknya masing-masing.

Panca Kakek memulai perbincangan ringan mereka sebagai cara bercengkerama sambil menikmati mamahan: sirih-pinang-kapur. Kakek Gaul tentu saja sangat berbeda. Dia memang mengikuti arus zaman dengan memiliki android. Kabar-kabar terbaru diikutinya dan sangat sering dibawa ke dalam perbicangan mereka.

"Aku sudah membaca, dan juga menonton sekaligus mendengar pernyataan Sang Filsuf. Entah mesti menyebut menarik atau dia sedang kalut. Aku tak dapat menilai. Satu kepastian, dia ditolak bercerita dengan para muda. Ada yang jengkel dan kecewa, tapi ada pula yang justru senang dan tertawa ngakak tanda gembira." demikian Kakek Gaul memulai perbincangan mereka.

"Menurutmu, hai Gaul, tidakkah Sang Filsuf keliru? Coba cek lagi berita-berita tentang dirinya. Siapa tahu ada kebenaran dan keikhlasan pada dirinya dari hasil olah pikirannya yang sering disebutkan sebagai sesuatu yang mesti dipertengkarkan?" tanya sahabatnya sambil mengunyah mamahan.

Empat remaja kampung melintas di jalan ketika akan pergi sumber air pada petang itu. Mereka membawa ember untuk mengambil air bersih yang berada di luar kampung. Mereka kelihatannya sangat menikmati tugas dan suasana di kampung mereka. Tugas menimba air dilakoni dengan hati gembira.

Sumber: https://www.antarafoto.com/

Ketika para remaja kampung mengambil air dari sumber yang jauh, memanggul sambil berjalan kaki tanpa alas kaki, kaum intelektual tertentu yang mengaku dapat memberi solusi atas beragam masalah justru menebar kecemasan. Padahal kecemasan sesungguhnya berada pada mereka yang bersua dengan masalah seperti kekurangan air bersih. Berjuta mulut menanti air bersih untuk diminum, sementara konglomerat menjual air bersih dalam kemasan yang menaikkan status sosial dan ekonominya. Kaum melarat tergiur dengan sebongkah air bersih kemasan yang dapat digenggam, diminum dan pulang ke rumah sambil mencari air bersih lagi dengan berjalan kaki ke sumber air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline