Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Sang Filsuf

Diperbarui: 3 Agustus 2023   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, Sumber: https://open.spotify.com/

Hari itu langit menggemuruh lagi mengguntur, awan berderak-derak dalam barisan hancur secara amat cepat, menggumpal dan menghitam. Dari dalamnya keluarlah kilat yang saling silang memotong halangan di depan matanya. Tiap kilatan ingin segera terbebas dari bingkai dan bungkusan gelapnya gemawan. Gemuruh tiada diam. Sambung-menyambung guruh mengemuruh dan mengguntur. 

Pepohonan di dalam kawasan hutan primer dan sekunder menggugurkan daun-daunnya. Pepohonan tertentu sajalah yang masih tegak berdiri menggeleng-geleng ketika guguran menimpa cabang besar dan batang-batang mereka. Rerumputan di padang bergoyang-goyang hingga terlihat di sana ada yang merunduk bagai sedang berduka, namun ada pula yang mendongak tegak menebar bunga-bunga rerumputan yang membawa pesan ketimpangan alam semesta.

Seekor semut raksasa berlari kencang ke dalam liangnya membawa kabar pada kaumnya bahwa telah terjadi kemerosotan akhlak pada kaum berakhlak yang menyembah Tuhan dan menjunjung harkat manusia pada tempatnya. Sementara raja rimba berdiri mendongak mewakili mereka yang berkaki empat. Buaya menjulurkan kepalanya di bibir hilir sungai, dan rajawali bertengger di dahan tertinggi pada puncak bukit yang paling mudah di pemandangan.

"Bajingan tolol!" ... . "Bajingan tolol!" ... ... ... ... !

Frasa ini menggema yang disambut langit, awan, kilat, guruh, pepohonan, padang, binatang hutan dan hewan peliharaan. Isi alam semesta bergetar. Kilat dan guntung mengirim petir dengan pesan tak boleh melukai dan menciderai. Dedaunan mengirim buah kering dan biji-bijian keras dengan Ekosistem mereka bagai saling mendekat agar dapat mengetahui secara pasti mengapa frasa itu terucapkan dari orang yang dijunjung dengan predikat filsuf zaman edan ini. 

"Wah... ada filsuf bersuara lantang. Setiap hari wajahnya ditampilkan di layar publik dalam varian media zaman edan. Pernyataan-pernyataannya pedas, mencengangkan, membingungkan, mencemaskan, mengganggu kenyamanan, keamanan dan ketertiban." seorang kakek memulai percakapan di bawah pohon besar yang rindang. Ia duduk dengan beberapa sahabatnya menikmati mamahan sirih, pinang, yang dicampur kapur. Bibir dan rona wajah mereka memerah. Ludah berwarna merah sebagai limbah dari mulut dilepas di "arena sekitar mereka duduk. Dua di antara mereka menggunakan lesung-alu yang khusus dan khas untuk menghaluskan pinang dan sirih sebelum tiba di rongga mulut. Ya, begitulah cara untuk mendapatkan mamahan pada mereka yang sudah kehilangan alat pengerat dan penghalus di dalam rongga mulut.

Sepasang merpati duduk di dahan pohon itu tanpa gangguan. Mereka sedang bercengkrama dengan saling mematuk. Tiada suara keras dari keduanya yang menggambarkan ketidaknyamanan. Pasangan merpati terus menikmati ketulusan cinta mereka. Angin membelai bulu-bulu badan keduanya sebagai aksesori cinta itu. Dedaunan berwarna hijau muda, hijau tua, kuning, bunga dan buah pada pohon itu mendekorasi dan membingkai kisah percintaan keduanya.

"Jika seseorang disebut filsuf, ia dipastikan memiliki pengetahuan yang luas, memahamai secara luas pula apa itu kebijaksanaan dan mewujukannya dalam cinta." sambung kakek yang sedang memadukan lesung-alu bertalu untuk menghaluskan buah pinang dan batang sirih. Ia memandang kepada sahabatnya yang sudah memberikan pernyataan sebelumnya. Keduanya saling memandang, sementara tiga sahabat lainnya masih melongo entah akan memberi opini.

Ketiganya ingat pernyataan yang muncul di publik ketika filsuf yang mengaku mengetahui banyak akar permasalahan di nagari berkepulauan dengan kemajemukan tiada bandingnya. Sang filsuf dalam banyak kesempatan yang didapatkannya selalu menguraikan berbagai permasalahan nagari. Publik terkesima akan mainan aksaranya. Tiada masalah yang lolos dari pantauannya, termasuk sikap dan bahkan gestur individu pemimpin-pemimpin nagari. Rasanya sang filsuf telah masuk-keluar dari benak tiap individu tiap orang yang disasar mulut besarnya.

"Filsuf patut menunjukkan kebijaksanaan dan cinta. Kebijaksanaan ditunjukkan bukan dengan ujaran berintrik dan tendensius. Kebijaksanaan patutlah menyegarkan dan menyamankan kaum. Kebijaksanaan berisikan cinta. Cinta kepada umat manusia, alam semesta dan Sang Khalik." kakek kedua berkata sambil melumat mamahan. Ia menengadah, memandang pada pasangan merpati yang masih bertengger di dahan pohon itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline