Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Bunyi Sirene Memasuki Kampung Itu

Diperbarui: 10 Juli 2023   22:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ssumber: https://infontt.com/

ngiung, ngiung, ngiung, ngiung, ... ... ... 

Bunyi itu terdengar di kejauhan. Makin mendekat, mendekat, merapat, merapat hingga akhirnya melewati jalan desa menuju gang, gang dan gang di ujung kampung. Berhenti. 

"mama, mama, mama... ... ." Suara tangis anak-anak menyambut peti jenazah yang dibopong oleh anggota masyarakat.

"eeee.... kasian... . " Suara tangis yang lain muncul di samping peti jenazah. Tangisan berantai, terus terjadi. Berantai lagi hingga peti jenazah tiba di dalam rumah.

Tangis makin pecah. Suara melengking membelah malam. Udara dingin yang mencumbui ari tak terhiraukan. Tangisan disertai ratapan bertalu dan mendayu. 

Berduyun-duyun anggota masyarakat memasuki rumah duka. Tiap anggota masyarakat secara tulus ingin memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah yang baru saja tiba. Penghormatan di depan peti jenazah yang sudah dibuka. Jenazah terlihat jelas, tidur, tenang, pucat, beku, kaku. Jenazah telah dipakaikan pakaian terbaik.

Seorang bapak duduk di samping peti jenazah. Tangisannya tak terdengar lagi. Ia bagai kehabisan nada dan dinamika suaranya. Tersisa padanya kepala yang digeleng-gelengkan. Tangannya menopang kepalanya dalam tunduk. 

Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dan para menantu terus meneriaki, "mama, mama, mama... ... ... ."

Tiada lagi suara. Hilang sudah senyuman. Sirna wajah cemberut. Hanya satu yang terlihat,  kebekuan dan kakunya jasad sang bunda. Bibirnya telah dikatupkan. Lidahnya tak dapat lagi diayun-ayunkan. Daun telinga hingga gendangnya telah disumbat sepadat-padatnya.  Matanya telah ditutup dengan kelopak yang tanpa engsel pelicin buka-tutup. Binar bola mata telah lenyap dalam pelukan kulit bola mata.

Ia  pergi, pergi dan terus pergi. Ia tidak akan pernah kembali lagi. Ia tidak akan menoleh pada masa lampau atau memandang hari esok. Ia tidak akan lagi membanding-bandingkan kehidupan pada hari dengan dengan zaman yang sudah dilewati dalam kurun waktu berlalu. Ketika ia berdiri di titik waktu saat  ini, sekarang, kini, ia dapat menunjuk hari-hari kemarin dan berharap untuk hari-hari esok. Kini, bagaimana mengatakan semua itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline