Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Mereka Membaca Gestur Patung

Diperbarui: 7 Juli 2023   00:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi, sumber: liputan6.com

Pemulung Aksara (PA) baru saja kembali dari kota So'e, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). TTS salah satu kabupaten di Timor Barat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemandangan menarik, udara sejuk cenderung dingin, walau sesungguhnya pada masa lampau kota So'e digelari kota dingin di Timor. Kini, udara kota itu menjadi sejuk. Masyarakatnya yang dulunya nyaris selalu membungkus badan (berselimut) dan berpakaian tebal, kini sudah berkurang, bahkan kaum mudanya cenderung westeren... haha...

Bukan itu yang hendak dikisahkan. Paragraf itu hanya untuk ingatan bahwa hari ini PA telah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan dari kampung sendiri ke kota So'e dan balik lagi ke kampung. Ingatan dan kesan bukan saja pada kampung dan kota So'e, tetapi pada  banyaknya informasi yang sempat PA baca di beberapa media, hingga sempat melihat dan mendengar berita di layar kaca.

Wao...

Jarum jam dinding saling berkejaran. Entah manakah yang akan mencapai titik akhir terlebih dahulu. Mereka tidak dapat memastikannya, namun daya yang menggerakkan berasal dari satu sumber. Jadi, sang sumber daya energi itulah yang akan menetukan mana yang akan tiba terlebih dahulu di titik akhir sebagai finis dan lomba pun berakhir.

Sayangnya sang sumber daya tak pernah mengatur agar mereka berhenti pada satu titik yang sama. Tiga jarum jam dinding akan terus beredar. Dua di antaranya pernah berhenti dan menunjuk pada titik yang sama, sementara yang satunya lagi menyinggahi keduanya hanya sedetik saja, lalu bergeser lagi. Maka, tiada pemenangnya bila ketiganya sedang berlomba, bukan?

Jam dinding besar berdiri di tengah kota. Ia dilirik setiap penduduk kota, hingga tamu dari luar kota dan manca negara. Jam dinding itu lebih tepat disebut jam sentral kota. Mata siapa yang tak akan melirik ke sana? Setiap orang rindu mengetahui waktu yang sedang berlangsung saat di mana dia melihat jam sentral kota.

Patung yang berdiri di sebelahnya bagai turut menyaksikan jam sentral kota. Sang patung bagai memiliki gestur yang berkisah tentang masa lalunya dan asa dirinya pada waktu yang diwakili oleh jam sentral kota ini.

Gesturnya berkisah tentang polemik ketika ia dibangun. Pada saat itu suasana di sekitar wilayah itu sangat riuh rendah dengan proses pemilihan pemimpin tertinggi dan antek-anteknya. Mereka yang merasa pantas untuk dipilih memamerkan citra diri secara amat menakjubkan dan mencengangkan. Sebutlah mereka sebagai kaum penawar haus dan lapar kaum miskin. 

Kaum miskin yang butuh makanan, pakaian dan rumah layak huni. Mereka butuh air bersih untuk memenuhi kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK). Mereka merindukan untuk menyekolahkan anak-anak sampai jenjang pendidikan tinggi, hingga harapan akan meracik secara mandiri masa depan tanpa harus bergantung pada kaum penawar haus dan lapar.

Kaum miskin tertegun sesaat. Mereka duduk di pinggir kampung tepat pada batas antara kaum kaya dan miskin. Batas itu tidak terlihat, namun kaum miskin menyadarinya sehingga mereka duduk di sana. Mereka mendongak pada papan yang mengumumkan nilai proyek pembangunan patung mahatinggi itu akan berdiri di tengah kota. Namanya akan menjadi patung sentral kota. Kira-kira akan begitu rasanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline