Pengantar
Saya menjadi salah satu anggota dalam satu WhatsApp Group (WAG) yang nyaris tak pernah sepi diskusi. Banyak topik menarik yang didiskusikan dengan ending yang variatif pula antara ambigu dan konklusi. Semua diskusi dilakukan oleh mereka yang kira-kira secara latar belakang disiplin ilmu bisa saja tepat, atau bisa saja asal ikut dalam diskusi sehingga kesannya ada partisipasi dari anggotanya.
Salah satu contohnya yakni diskusi tentang praktik politik atau sebaliknya politik praktis. Diskusi ini tiba pada satu kesimpulan yang dibuat oleh seorang anggota WAG. Lalu, sesudah kesimpulan itu dibuat, hari berikutnya seorang anggota menyampaikan gagasan agar diskusi di WAG sebaiknya ditindaklanjuti dengan seminar. Gagasan ini didukung oleh kaum muda. Sementara mereka yang sudah sampai pada titik konklusi tak merespon. haha...
Lalu, hari berikutnya lagi, muncul gagasan untuk memberi nama jalan di dalam wilayah besar bekas swapraja dimana para anggota WAG telah dilahirkan dan dibesarkan. Bekas Swapraja itu telah menjadi 4 kecamatan pada masa Reformasi ini. Sementara nama-nama jalan di dalam bekas Swapraja itu masih kabur. Terkesan penamaan salah satu ruas jalan yang menghubungkan salah satu ibukota kecamatan dengan kota kecil terdekat, ditempatkan oleh publik agar memudahkan pencarian alamat, dibandingkan di tempat itu orang bertanya-tanya. Lalu ada yang menempatkannya pada google maps sehingga terlihat sudah formal.
Saya mencoba bertanya saja, sesungguhnya kewenangan memberi nama jalan itu ada pada lembaga/institusi mana? Tulisan ini bertujuan:
- mendapatkan pengetahuan tentang prosedur memformalkan satu ruas jalan tertentu yang menghubungan satu tempat dengan tempat lainnya.
- memberikan rekomendasi pengetahuan belaka pada pembaca yang secara kelompok mengharapkan ruas-ruas jalan di daerahnya bernama
Dasar Hukum Penamaan Jalan
Marilah bertanya, "Adakah dasar hukum untuk penamaan satu atau lebih ruas jalan?"
Bila menelusur informasi dengan menggunakan mesin pencari zaman ini, google (gugel), harapan untuk mendapatkan jawaban yang kiranya valid belum dapat dipastikan, tetapi cukup untuk menjadi referensi, termasuk bila bertanya pula pada sumber-sumber tertulis.
Dalam pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, di sana mewajibkan penggunaan kata nama berbahasa Indonesia pada nama jalan. Di sini, ada ruang, ada peluang untuk memberi nama pada ruas jalan. Namun apakah ada turunan dari UU ini untuk menjadi lebih teknis? UU itu mengatur hal berbeda dari apa yang dimaksudkan yaitu penamaan ruas jalan dalam satu wilayah kota dan kabupaten.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan, pada Bab V, pasal 57 ayat (1), (2) dan (3) yang mengatur tentang Wewenang baik Pemerintah maupun Pemerintah Daerah disebutkan sebagai berikut:
- ayat (1) Wewenang Penyelenggaraan Jalan ada pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah
- ayat (2) Wewenang Penyelenggaraan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelenggaraan jalan secara umum dan penyelenggaraan jalan nasional;
- ayat (3) Wewenang penyelenggaraan jalan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputu penyelenggaraan jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan jalan desa
Bila membaca secara cermat aturan di atas, rasanya belum termasuk di dalamnya penamaan jalan pada ruas-ruas jalan yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Mengapa? Karena aturan itu mengatur hal-hal teknis yang memungkinkan pemerintah daerah menyelenggarakan (membuka jalan, merencanakan peningkatan kualitas jalan, status jalan, dan lain-lain). Sementara penamaan jalan rasanya tidak diatur dalam PP tersebut.
Pandangan Jimly Asshiddiqie masih dirujuk oleh berbagai kalangan tentang aturan penamaan jalan di Indonesia. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa "aturan pemberian nama jalan di Indonesia, umumnya masih menggunakan peraturan daerah masing-masing." (1). Hal ini berdampak pada penamaan jalan di Indonesia yang terasa bagai "asal suka" agar ada nama pada ruas-ruas jalan.