Hari-hari sibuk di Umi Nii Baki-Koro'oto telah berakhir. Semua kembali pada situasi normal dan dalam rutinitas tugas keseharian. Urusan rumah tangga dan tugas-tugas di luar rumah. Mengingatkan anak-anak tentang hari-hari belajar efektif di sekolah dan kampus, terutama yang sedang dalam tugas akhir.
Minggu (29/1/22), seorang pendeta GMIT memasuki masa pensiun. Undangan disebar agar kiranya dapat mengikuti kebaktian purnalayan sang pendeta. Kabar tentang pensiunnya pendeta ini telah ada dalam ingatan beberapa waktu lalu. Ini terjadi karena ada satu tugas kecil yang kami dapatkan untuk menyokong acara. Tugas itu yakni membawa rombongan pemuda untuk menjadi petugas penyambut tamu dengan tutur budaya yang disebut seni berbicara (art of speech).
Seni berbicara yang dimaksud ini dalam komunitas pengguna Bahasa Meto' ada ragamnya yakni aa' asramat (Amarasi); basan (Amfo'an, Helong), natoni (Amanuban, Molo, Amanatun), takanab (Biboki, Insana, Miomafo). Semua ini menggunakan pendekatan yang sama; ada pemimpinnya yang disebut A'a'aat, dan kelompok yang dipimpin, disebut Aseter.
Contoh video berisi aa' asramat lainnya yang menggunakan pendekatan yang sama seperti ini.
Dalam video ini terlihat anak-anak PAUD/TK yang menyambut seorang pejabat dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang. Anak-anak ini dipimpin oleh seorang anak (siswa SD) yang duduk di kelas 5. Anak-anak PAUD/TK ini, pada saat penulis menulis artikel ini, mereka sudah duduk di kelas 6 SD.
Mengapa mengizinkan berbahasa daerah?
Bahasa daerah mulai terancam punah. Ancaman kepunahan ini terjadi karena banyak faktornya. Satu dua konferensi internasional yang membahas bahasa yang terancam punah sempat penulis hadiri. Itulah sebabnya penulis sebagai guru mengizinkan para siswa berbicara bahasa daerah di lingkungan sekolah.
Penulis dan rekan-rekan guru, atau anggota majelis gereja, serta pemangku pemerintah desa terus menggiatkan penggunaan bahasa daerah dan budaya seni berbicara ini. Setiap kegiatan formal di dalam desa, atau di sekitar desa, kami akan sempatkan untuk menyapa dengan seni berbicara ini.
Bukan itu saja, terdapat pula tarian massal yang lama tidak dihidupkan. Penulis memotivasi majelis gereja untuk menerima tarian massal dengan lagunya yang bernuansa religi. Mereka menerimanya dengan sukacita.