Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Sembah Belalang Sembah

Diperbarui: 13 Desember 2022   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sembah Belalang Sembah

Pagi ini aku duduk di sini, pada area luas seluas-luasnya, sejauh-jauhnya mata memandang. Bola mataku berada pada posisi paling depan berbarengan dengan antena penangkap sinyal rasa aman dan nyaman. Antenaku bukan saja hendak menangkap dua rasa pada sinyal itu, lebih dari pada itu kiranya menjadi alat pendeteksi keberadaan mangsa yang dapat kunikmati dalam rengkuhan parang bergerigi di tanganku. Aku bangga memiliki tubuh ramping yang dilengkapi dengan antena, senjata dan teropong, bahkan lambungku menjadi lumbung pada butiran kehidupan baru berhubung aku tak sendirian. Hidup berpasangan seperti layaknya makluk hidup lainnya yang dikreasikan Sang Khalik.

Namaku beragam, paling kurang disebutkan seperti ini, belalang sembah berhubung sifatku yang bagai menyembah-nyembah sehingga orang berbahasa asing menyebutkan namaku praying mantis. Ya, praying mantis, kaum berbahasa asing pun masih mengadopsi bahasa asing yang lain, mantes yang berarti nabi. Wao... namaku sungguh menarik, bukan? Aku makhluk pendoa bagai para nabi. haha... Sementara para ilmuwan memanggilku mantodea dyctyoptera dan mendata jenis kami dalam jumlah yang teramat banyak. Mereka menginformasikan bahwa kami lebih dari dua ribuan spesis. Pada angka seperti ini, aku dan populasi kami tentulah dapat membungkus permukaan suatu daratan bila kami menghendakinya, bukan?

Suasana pagi ini menyenangkan kaum kami. Aku mewakili mereka untuk bercerita bahwa dalam kurun waktu dua minggu terakhir di pulau Timor tidak terjadi hujan. Hujan bagai tiada berkenan pada daratan ini. Langit bagai menahan aliran air di sana, sungai-sungai cakrawala berbelok arah entah kemana. Bila aku mendongak, aku melihat bentangan cakrawala sangat tinggi. Sementara kaumku terbang rendah dan hinggap pada dedaunan muda, sangat muda sehingga mudah dikerat. 

Kaumku tidak sekadar mengerat tetapi mencari mangsa seperti lebah, jangkrik dan kupu-kupu. Kaumku tergolong pemakan daging sehingga mengerat dedaunan hanyalah sebagai makanan mewah belaka karena sesungguhnya kami hanya melukis pada dedaunan itu. 

Aku, sepagi ini duduk di pelataran luas, menyaksikan semut dan seekor lalat bagai hendak menyembah padaku. haha... Tidak. Mereka pun sedang menjalani kehidupan sendiri-sendiri seperti aku. Aku tiada termangu manakala semut berlarian di selangkanganku, parang bergerigi di tanganku tak dapat kupergunakan untuk menghalaunya, antenaku memberi sinyal bahwa sang semut tiada berbahaya. Sementara lalat di sebelahnya sedang bersiap-siap untuk terbang, dan jreng... ia pun terbang meninggalkan pelataran.

Aku masih di sini mendengar ocehan insan berTuhan. Entahlah mereka sedang berbincang untuk menghadap Sesembahan mereka yaitu Sang Khalik Tuhan. Aku Sang Praying Mentis berharap mereka melakukannya berhubung merekalah yang dapat berbicara dengan-Nya. Mereka pula yang dapat membaca Firman-Nya. Merekalah pelaku yang menyikapi apa yang dikehendaki Sang Khalik Ilahi, Tuhan dalam berbagai sebutan bahasa manusia. Aku, walaupun bernama indah di belakangku seperti nama keluarga besar Sembah, Praying Mentis, Mantes, dan lainnya, aku tidak berbangga dengan semua itu, karena aku hanyalah makhluk kecil yang terkategori serangga pengganggu insan berakhlak mulia.

Kisahku sampai di sini. Mungkin insan berakhlak mulia rindu membacanya [?]

Umi Nii Baki-Koro'oto, 13 Desember 2022

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline