"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan." -- Tan Malaka
Pengantar
Ketika Pemerintah Indonesia mengamandemen batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang melahirkan dan mewajibkan negara menyediakan anggaran 20% untuk dunia pendidikan, di sana masyarakat pendidikan berjingkrak kegirangan. Lantas turunan dari Konstitusi itu yakni Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, diikuti aturan teknis pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah (Kabupaten,Kota, Provinsi), dan lain-lain yang sifatnya teknis untuk dapat dengan mudah diwujudkan.
Aturan-aturan teknis implementasi konstitusi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 47 & 48 tentang Wajib Belajar dan Pendanaan Pendidikan. Sudah banyak waktu yang terlewati pada pelaksanaan aturan yang khas yakni sekolah tanpa pungutan, siswa mendapatkan bantuan baiya operasional sekolah, hingga program Indonesia pintar (PIP). Di samping Kemendikbudristek, kementerian lain yang ikut menyelenggarakan pendidikan pun memberikan "gratisan" biaya pada siswa/mahasiswanya.
Benarkah pendidikan gratis mendongkrak semangat belajar siswa? Benarkah pendidikan gratis memotivasi kreasi orang tua siswa?
Pendidikan Gratis "ninabobo" Masyarakat Pendidikan
Mari sekadar menengok subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selalu kontroversi, dan mungkin "kontraproduktif". Ketika subsidi BBM berlaku, siapakah yang paling banyak memanfaatkannya? Jawabannya masyarakat. Kategori masyarakat dalam kelas-kelas menjadi kabur ketika antrian kendaraan untuk mengisi BBM pada stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Siapa yang mengetahui bahwa masyarakat kelas menengah hingga elit sedang antrian di sana untuk ikut merasakan subsidi BBM? Jika diketahui, bagaimana menyapa, menegur dan menyampaikan kepada mereka tentang subsidi diberlakukan pada masyarakat kelas bawah?
Lalu, tengoklah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi favorit, berapa banyak masyarakat kelas bawah yang membawa anak-anaknya ke sana? Di sana kaum elit: birokrat kelas atas, konglomerat, pejabat dan lain-lain; anak-anak mereka berada di sana. Ekonomi para kaum yang disebutkan ini sungguh tak terbatas, sehingga ke sanalah mereka menempatkan anak-anak mereka. Atau bahkan anak-anaknya "bermanjaan" minta disekolahkan ke sana. Lantas kita bertanya lagi, adakah keuntungan pada kaum termarginalkan pada dua hal kontras ini?
Sekolah/PT favorit berbiaya tinggi, jangkauannya hanya ada pada mereka kaum elity, sementara kaum elementary tidak dapat dengan mudah sampai ke sana. Bahwa orang akan berkata, siswa dari kalangan masyarakat kelas bawah yang cerdas (IQ di atas rata-rata) mendapat beasiswa (gratis) di berbagai perguruan tinggi negeri. Berapa banyak yang seperti itu? Terbatas, bukan?
Lalu, BBM bersubsidi, PIP, PKH, dan subsidi lainnya "dihalalkan" cara pengambilannya di bank sehingga "persinggahan" seperti yang terjadi pada bantuan pembangunan kembali rumah penduduk akibat badai Seroja tidak perlu terjadi.
Mari bertanya, jika program-program bantuan pemerintah melalui anggaran negara (dan daerah) khususnya dalam rangka pendidikan gratis, tidakkah itu mesti dirasakan oleh masyarakat pendidikan? Jawabannya, ya; sudah ada di sekolah-sekolah dan sudah ada dalam pemanfaatannya.
Jika demikian kita bertanya, seberapa besar kemungkinannya untuk dinikmati oleh para pemangku kepentingan di sekolah? Jawabannya, kita lihat dana apa yang disebut Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam anggaran BOS yang dikucurkan dari APBN kepada sekolah-sekolah, bukankah anggaran standar minimal yang disalurkan? Bila menggunakan asumsi standar minimal, bukankah kita butuh anggaran lebih (maksimal) untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan?
Orang tua manakah dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang kini akan merasa bertanggung jawab secara moral dan materil kepada pendidikan anak-anak? Mereka sudah "lepas tangan" oleh karena pemerintah telah mengambil alih pembiayaan dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal BOS itu merupakan pembiayaan standar minimal, tetapi oleh karena kampanya pendidikan gratis amat sangat gencar, maka para orang tua pun telah berasumsi bahwa semuanya gratis. Orang tua sama sekali tidak lagi memiliki tanggung jawab material.