Selamat jalan sahabat, pemulung aksara berdiri di sini, di bibir lahat ini, melambaikan tangan padamu, menyapa rohmu di balik sana, di dunia baru, pada langit dan bentangan cakrawala baru, dalam sukacita berbeda dari kami di sini, kami yang masih berdiri di bibir liang ini, kami yang masih akan bergelut dan bergulat dengan rutinitas, dengan keringat, dengan air mata, dengan kelelahan, dengan ritme dinamis antara senang tak selalu tenang, riang tak selalu ramai terngiang, bangga tak selalu bangkit bongol bertunas baru,
Selamat jalan sahabat, pemulung aksara berdiri di sini, berefleksi pada jasa edukasi yang kau goreskan, membekas bagai biki* di sanubari kaum terdidik, jumlahnya entah terhitung, kualitasnya entah tertimbang, merekalah yang merasakan, merekalah yang menikmati.
Selamat jalan sahabat, pemulung aksara berdiri di sini, terus memandang pada bentang cakrawala kehidupan, pada area edukasi kita, jalan dan cara yang kita pilih, orang menyebut namanya, guru, pengajar, edukator, dan seabrek sebutan lainnya. Lalu, pemulung aksara dan para sahabat ingat kata syair lagu, pahlawan tanpa tanda jasa, itu slogan, itu kebanggaan semu, itu martabat berkaburan berisi remah pengabdian.
Koro'oto, 15 November 2022
*biki, ~ bahasa Meto' artinya, bekas luka di badan berwana keemasan.
**puisi ditulis untuk kenangan bersama sahabat guru yang meninggal pada 14 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H