Pengantar
Suatu pemandangan biasa di Sekolah Dasar di pedesaan pada hari ini, khususnya di tempat kami bertugas. Guru dan siswa akan bersama-sama dalam apel pagi setelah seluruh persiapan proses pembelajaran telah disiapkan. Pada apel pagi biasanya ada beberapa hal yang dilakukan, seperti:
- menyiapkan barisan
- mendengarkan arahan dari guru piket atau kepala sekolah
- ibadah/doa bersama
- salam
Enam rombongan belajar dengan jumlah siswa terbatas tidak mencapai angka 20 tiap rombelnya. Hal ini sudah menjadi keprihatinan pada institusi sekolah-sekolah dasar pedesaan, sekalipun di pihak lain ada institusi yang bertepuk tangan attas keberhasilan program pembatasan jumlah anggota keluarga.
Betapa menariknya kondisi pendidikan di pedesaan Timor. Saya sempat menulis beberapa kali tentang hal seperti ini di antaranya [ di sini ]
Siswa dan Guru SD Pedesaan (Timor Barat) Mumpuni Literasi Digital?
Saya tidak menafikan bahwa dewasa ini literasi digital sudah menjadi "makanan pokok" guru dan siswa (anak-anak) dari perkotaan hingga pedesaan. Hal ini terlihat dari kesiapan sekolah-sekolah melaksanakan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).
Semua sekolah, termasuk sekolah-sekolah dasar di pedesaan dan pesisir telah turut serta dalam program nasional ANBK ini. Lantas hasilnya dapat dilihat pada Rapor (mutu) Pendidikan melalui platform yang disiapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemdikbudristek RI).
Berapa banyak sekolah dasar di pedesaan (Timor Barat) yang secara nyata mampu melaksanakan ANBK dengan pendekatan literasi digital yang dianggap dapat diandalkan? Belum ada data yang kiranya valid.
Dalam suatu rapat koordinasi para Kepala sekolah Dasar di Kabupaten Kupang, yang dilaksanakan 2 sesi tanggal 3-4 November 2022, ditemukan fakta bahwa masih banyak kepala sekolah belum dapat mengakses Rapor (mutu) Pendidikan di sekolahnya. Mengapa?
Masalah ada pada mengaktifkan akun belajar yang dikeluarkan oleh Kemdikbud RI. Rerata para Kepala Sekolah menganggap bahwa operator sekolah yang membuat akun belajar itu, sehingga mereka mengharapkan seseorang berikutnya dapat membantu untuk mengajarkan sekaligus praktik pembuatan akun belajar itu.
Seorang rekan guru SMA di Kabupaten Kupang mendapat kepercayaan sebagai Fasilitator untuk menyampaikan tentang akun belajar. Ia telah mengikuti pelatihan sehingga mendapatkan statusnya itu untuk selanjutnya dapat melakukan sosialisasi bahkan untuk 3 Kabupaten: Kabupaten Kupang, Rote-Ndao dan Sabu-Raijua. Suatu hal yang baginya membuktikan bahwa literasi digital para guru di 3 Kabupaten ini masih "dipertanyakan".
Bagaimana dengan siswa? Saya berasumsi bahwa siswa di pedesaan pun sudah mulai berliterasi digital. Di sekolah-sekolah pedesaan, siswa SMA dan SMK sudah banyak siswa membawa smartphone android untuk mengakses materi ajar bersama gurunya yang melek teknologi. Sementara pada siswa SMP dan SD rasanya masih dapat dihitung dengan jari, apalagi bila gurunya masih manual. Perkembangan yang demikian belum memenuhi harapan untuk proses pembelajaran secara daring, apalagi mesti mengantarkan siswa untuk mempunyai akun belajar sendiri pada platform merdeka belajar; sementara gurunya belum mampu mengakses platform merdeka mengajar.