Lihat ke Halaman Asli

Roni Bani

Guru SD

Wawancara Imajiner dengan Dua Sastrawan Indonesia

Diperbarui: 11 November 2022   20:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengantar

Hari ini selain melaksanakan tugas pokok dan fungsi di sekolah, saya kembali memelototi etalase Kompasiana dimana berjubel artikel-artikel menarik. Artikel-artikel itu mendapat sentuhan rate dan komentar dari para sahabat baik sebagai pengikut (follower) atau yang sekadar ikutan membaca oleh karena diedar luas dalam media sosial milik para penulisnya.

Saya membuka, membaca dan memberi rate dan komenter walau tidak semuanya, oleh karena terbatasnya kemampuan membaca dan merespon apalagi untuk memberikan komentar, kecuali sekadar menyapa penulisnya. Lalu, saya membuka buku yang saya pilih di rak buku sederhana milik kami. Saya membaca catatan-catatan penting dalam buku Sastra Indonesia.

Iseng-iseng sesudah membaca beberapa bagian saya bagai merindukan untuk melakukan wawancara imajiner dengan 2 tokoh sastra Indonesia, yakni: Buya Hamka dan Marah Roesli. Berikut petikan wawancara imajiner dengan kedua sastrawan Indonesia ini.

Wawancara Imajiner

Saya melakukan wawancara imajiner dengan pedekatan menulis. Saya menggunakan inisial, P untuk Penulis, dan J, Jawab untuk sang tokoh. Kira-kira seperti ini yang dapat saya lakukan dengan kedua tokoh tersebut.

Buya HAMKA

P: Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

J: Allaikumsalam Warohmatullohi Wabarokatuh

P: Maafkan saya Buya, saya merindukan pertemuan ini. Bolehkah saya mendengarkan kisah-kisah keberhasilan dalam dunia kepenulisan seorang Buya Hamka yang sangat luar biasa dan selalu akan dikenang?

J: Tentu saja boleh cucuku. Ketika aku berumur 16 tahun aku sudah meninggalkan kampung halamanku. Aku merantau ke tanah Jawa. Di sana aku belajar dari tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikoesoemo, dan lain-lain. Semua itu menjadi pengalaman berharga bagiku. Aku sangat suka menulis roman. Ada yang menjulukiku dengan istilah "Kiai Roman" karena kegiatanku yang dianggap menyalahi tradisi keulamaan. Lalu berpuluh tahun kemudian, julukan itu berubah menjadi "Ulama Pujangga". Sebagai penulis roman, aku pernah difitnah plagiat. Aku menulis roman Tenggelamnya Kapal van der Wijk (1939). 

Beruntunglah Fakultas Sastra Universitas Indonesia mengadakan penelitian dan menyatakan bahwa roman itu asli tulisanku. Buku-buku yang pernah aku tulis bahkan pernah dilarang beredar pada suatu zaman. Namun, syukur alhamdullilah, semua fitnah itu sirna dan buku-buku yang pernah kutulis akhirnya dapat beredar dan kamu dapat membaca semuanya bila kamu menemukannya di perpustakaan atau ada yang mungkin cetak ulang. 

Buku-buku itu antara lain: Di Bawah Lindungan Kaabah (1938), Merantau ke Deli (1938), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Keadilan Ilahi (1941), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), dan masih banyak lainnya[1]. Itulah, nak sepenggal pengalaman. Pesanku, bila kamu hendak menjadi penulis, jangan pernah berhenti membaca dan teruslah mengasah ketrampilanmu menulis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline