Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten, Kota dan Provinsi sudah berakhir. Di seluruh wilayah NKRI di mana ada pilkada dipastikan akan ramai perbicangan mengenai proses dan hasil yang didapatkan oleh pasangan calon yang diunggulkan dan lawannya. Perbicangan di level tim sukses, relawan dan petinggi partai dipastikan berbeda dengan masyarakat yang awam praktik politik.
Ambillah contoh dari Kabupaten Kupang. Perbincangan masyarakat kelas pedesaan ramai di mana-mana. Kaum muda dan orang tua, khususnya para laki-laki akan melingkar pada satu tempat dengan meja kecil di tengahnya. Di bawah meja akan ada botol-botol plastik berserakan, di atasnya ada satu botol yang ada isinya dan satu gelas yang siap edar berkeliling dari tangan ke mulut, kembali lagi ke meja, diisikan, kembali lagi ke tangan dan mulut, dan seterusnya sambil berdiskusi.
Pada beberapa tempat saya sempat menjadi bagian yang turut membincangkan pemilihan pasangan calon bupati-wakil bupati Kupang. Di sana materinya saling berkemiripan. Nuansa identitas menonjol apalagi bila di antara para pembahas itu terdapat seorang atau dua orang pengurus partai di tingkat kecamatan atau desa/kelurahan. Pengurus partai yang demikian itu biasanya kurang mendapat pendidikan dan pelatihan praktik politik. Mereka direkrut dengan pendekatan sukarela agar terpenuhi target kepengurusan hingga desa/kelurahan dan kecamatan.
Dari perbincangan sambil menenggak minuman dengan satu alat minum yang beredar itu, dapat dibuatkan semacam resume seperti ini.
- Terdapat 5 pasangan calon bupati-wakil bupati yang siap dipilih. Tim sukses, relawan, partai pengusung dan pendukung bekerja keras mulai dari sosialisasi pasangan calon, sosialisasi visi, misi dan program strategis paslon, kampanye dan kawal suara di Tempat Pemungutan Suara.
- Wilayah Kabupaten Kupang dibagi menjadi tiga zona. Zona Utara, Zona Selatan dan Zona Poros Tengah. Zona Utara meliputi semua kecamatan di Fatule'u Raya dan Amfo'ang Raya dan Takari. Zona Selatan meliputi 4 kecamatan di Amarasi Raya, dan Zona Poros Tengah meliputi Pulau Semau, Kecamatan Kupang Barat, Nekamese, Taebenu, Kupang Tengah, Kupang Timur, Sulamu, Am'abi Oefeto dan Am'abi Oefeto Timur.
- Identitas etnis nyaris dominan dalam perbincangan sambil menyisipkan agama, pengalaman para pasangan calon, dan umur.
Begitulah resume dari ragam perbincangan di beberapa kampung di mana saya sempat ikut duduk mendengarkan. Mereka masyarakat awam yang tidak belajar praktik politik, tetapi berdasar pada postingan-postingan media sosial, mereka duduk dan membincangkan hal yang demikian itu secara amat menarik.
Hari pencoblosan yang sudah berlalu dan hasil hitung cepat yang diedarkan lagi melalui media-media sosial mulai menjadi materi perbincangan berikut. Keunggulan pasangan calon menjadi materi inti, sambil menelaah dengan pertanyaan, mengapa yang unggul demikian kalah? Lebih daripada itu masyarakat mempertanyakan kekalahan petahana.
Dalam kondisi yang tidak stabil emosi, mereka akan terus menuangkan minuman ke gelas, mengedarkan dari tangan ke mulut, lalu kembali lagi dalam perbincangan. Moderator tidak diperlukan di antara mereka, namun terlihat mereka akan saling mendengarkan bila satu orang berbicara yang lain diam dan tidak menyela. Pada titik emosi mulai labil, sangat sulit untuk kontrol diri. Terjadi tabrakan pendapat, tetapi masing-masing orang tetap duduk di tempatnya. Tangan saling tunjuk, namun tidak juga bergeser dari tempat duduk.
Kelihatannya mereka sadar pula akan keributan bila emosi dikendalikan oleh minuman yang makin banyak ditenggak. Lalu, ada di antaranya yang meminta izin untuk ke belakang. Ternyata tidak kembali. Satu lagi minta izin untuk hal yang sama, dan tidak kembali. Hingga akhirnya tersisa anggota yang seringkali justru kurang berpendapat pada acara bincang-bincang masyarakat awam tentang pemilihan umum kepala daerah.
Menarik.
Bagaimana pendapat pembaca?