Pengntar
Ketika mendapatkan kabar yang diikuti dengan surat resmi dari Pemerintah desa Oebesi Kecamatan Amarasi Timur mengenai Penyuluhan Perlindungan Anak dalam Masyarakat, saya menyambut dengan rasa syukur. Rasa syukur ini terjadi karena pada zaman digitalisasi ini, produk kebudayaan yang satu itu telah menggeser secara perlahan dalam kepastian kebudayaan lokal. Di antaranya posisi anak di dalam keluarga.
Anak dalam keluarga masyarakat pedesaan dipastikan secara perlahan pula akan mengikuti pola apa yang diketahuinya dari pengaruh dunia informasi yang singkat tanpa filter edukasi dan apalagi filter kultur (budaya).
Sementara itu para orang tua di pedesaan yang lahir sebelu tahun 1960-an pada hari-hari ini makin berumur. Pada situasi itu mereka ada suasana hati gamang, antara mengikuti pola berbudaya dalam masa hidup mereka atau pola baru yang sedang trending.
Di antara dua sisi itu mereka mesti dapat berdiri dalam penyesuaian diri untuk melindungi anak-anak mereka. Maka, tepatlah kiranya acara ini dibuat untuk memberi sekadar pengetahuan tentang pendekatan budaya dalam kerangka perlindungan anak baik pada masa lampau, kini dan masa depan.
Anak dalam Latar Belakang Kebudayaan Masyarakat Adat Pah Amarasi
Anak dalam setiap keluarga masyarakat adat Pah Amarasi merupakan harapan. Setiap pasangan suami-isteri akan selalu mengharapkan adanya anak dari hasil perkawinan (baik sah maupun nanti baru akan disahkan).
Maka, ketika orang mulai mengurus perkawinan, langkah pertama yang dilakukan oleh para tetua pemangku kepentingan yakni mengupacarakan pasangan suami-isteri baru. Upacara itu beragam namanya.