Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Mengunjungi Pertapaan Katolik Rawaseneng-Temanggung

Diperbarui: 9 Agustus 2023   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar dari twinkle.com

Kalau kita mendengar pertapa dan pertapaan, tentu yang terbayang pertama adalah Bhiksu-Bhiksuni Budha yang biasanya gundul. Tapi juga ada dalam tradisi atau kebiasaan tradisional, terutama pengaruh agama Hindu ada saatnya seseorang harus bertapa. Tapi, umum bahwa bertapa ada dalam berbagai kebudayaan masyarakat, khususnya masyarakat Timur yang berusaha mengosongkan diri. Lalu, dalam dunia modern, terutama dalam masyarakat Barat sangat kelihatan dalam tradisi salah satu cara hidup Katolik.

Itupun sebenarnya karena pengaruh dari tradisi Timur, khususnya dari Mesir. Jadi, dalam gereja Katolik memang ada pilihan hidup membiara, namun tak semua biara adalah tempat pertapaan. Malah justru hanya sebagian kecil yang dianggap pertapaan. sebagian sangat kecil. Kalau jaman dahulu kan bertapa berarti mengasingkan diri, masuk ke hutan hutan untuk bermatiraga, berpantang dari nafsu duniawi seperti nafsu makan, nafsu kemewahan, dan nafsu seksual. Biasanya banyak cerita raja raja atau bangsawan yang mengasingkan diri ke hutan hutan untuk menyucikan diri.

Rombongan Orang Muda Katolik sampai di rawaseneng. Dok. Pribadi

Ini agak beda dengan sekelompok Bhiksu yang bertapa sebagai pilihan hidup sejak awal untuk konsisten. Dalam Gereja Katolik juga lebih mirip dengan yang kedua ini. Bertapa dan juga membiara adalah pilihan hidup sejak awal dan sepanjang hidup. Bedanya mereka ga biasa berlatih kungfu di pertapaan, mereka hanya hidup untuk doa dan bekerja seperlunya, tapi lebih diutamakan yang berdoa.

Di antara pertapa Katolik itu, ada sebagian orang yang menjadi pastor, sebagian sangat kecil dan ada juga sebagian besar lainnya menjadi frater biasa, menjadi pertapa biasa saja dan tidak menjadi pastor untuk komunitasnya. Mereka hidup membujang dan sangat jarang bergaul dengan masyarakat. Hampir seumur hidupnya tanpa hari libur. Libur berdoa, gitu mereka ga ada.

Asal usul hidup bertapa atau monastik di Gereja katolik Roma, adalah dari model kehidupan monastik dari Gereja Timur. Awalnya mereka itu sendiri sendiri ketika meninggalkan keramaian duniawi. Di Timur khususnya di Mesir dan sekitarnya, yang ada hanya padang gurun bukan hutan belantara. Jadi cara bertapa mereka dengan pergi ke padang padang gurun. Lalu, karena semakin banyak orang yang memilih cara hidup semacam itu, terbentuklah komunitas komunitas para pertapa di padang gurun. Sekarang, pertapaan pertapaan Katolik sudah jarang yang hidup di gua gua dan di padang gurun, tapi yang penting terpisah dari dunia keramaian. Di Rawaseneng Temanggung suasana di hutannya juga masih sangat terasa. Bukan hutan, tapi perkebunan.

Mereka biasanya mengawali doanya di pagi hari pukul 3 pagi dan mengakhiri kegiatan bersama sekitar pukul 20.00 WIB. Kelompok ini juga terbuka untuk dikunjungi agar orang lain bisa mengikuti cara hidup mereka, hanya saja mereka tetap dipisahkan dari masyarakat umum termasuk orang katolik. Jadi mereka memang tidak bercakap cakap. Tapi, cara hidup mereka itu, untuk kami yang biasa dengan kebisingan hidup duniawi menjadi oase yang menarik secara rohani untuk sekedar lepas dari kepenatan kehidupan kota.

Pembatas antara para pertapa dengan pengunjung yang hadir. dok. pribadi

Bulan Juni kemarin, sebelum berangkat ke Dieng kami sengaja menikmati cara hidup para rahib atau pertapa Katolik ini. Hanya saja karena sudah tidak dapat tempat di sekitar komunitas mereka, kami menginap di komunitas susteran yang ada di atas kompleks pertapaan. Sabtu sore kami tiba di tempat susteran, penginapan dan makan di sana sangat murah cuma 200.000,-. Itupun makanannya cukup enak, sangat enak malahan bagi yang jarang makan daging. hehehe... Itu karena perjalanan yang ternyata sangat lama dari jakarta. Pukul 05 pagi sampai pukul 15.30... sangat lama meskipun sudah lewat tol. Mungkin bus wisata sekarang sudah punya standar untuk tidak ngebut ngebut. Meskipun dalam perhitungan kami mestinya pukul 14 sudah sampai.

Setelah istirahat sejenak, kami mulai mengikuti ritme doa para pertapa ini. Mulai dari ibadat sore, ibadat malam dan penutup. Suasananya memang benar benar magis ya. Dalam keheningan kami seakan diajak untuk melupakan beban hidup dan mengheningkan hati. Hidup sepenuhnya berpasrah pada Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline