Hahaha... judulnya itu loh... sok sok an... kayak saya orang Jakarta aja... tapi sebagai orang yang jarang pulang kampung seperti saya dan sehari hari ada di Jakarta, tentu menikmati suasana pedesaan menjadi pengalaman yang wuah banget... apalagi pedesaannya di Dieng. Sebuah tempat yang dulu saya bayangkan untuk ke sana. Sekarang saya sudah beberapa kali ke tempat tersebut. Dengan suasana dan cara yang sedikit berbeda... tapi semoga ini bisa menjadi pertimbangan pembaca saja, mana yang lebih nyaman kalau datang berombongan.
Mengapa Dieng itu indah? .... bahkan sudah sejak jaman dahulu kala Dieng itu menjadi tempat yang rekomended banget. Saya sebut jaman dahulu kala karena memang itu jaman Jawa kuno awal awal peradaban Hindu Buddha di Jawa. Bagi saya, Dieng indah karena pemandangannya, artefaknya, dan juga sejarahnya yang hilang. Kalau pemandangannya jelas lah yak, tempat ini di dataran tinggi di atas 1.500 mdpl. di ketinggian tersebut kita bisa menyaksikan awan gemawan yang biasanya di atas kepala kita sekarang ada di bawah kaki kita. Juga pegunungan dan perbukitan yang ada di sekitaran tempat tersebut. Udara dingin yang mengingatkan saya saat jalan jalan ke Eropa. Maksud saya bisa jadi mirip mirip lah dinginnya. Tapi juga menjadi imajinasi saya untuk bisa menikmati lagi udara dari puncak gunung kalau mendaki. Cuma ga punya sensasi capeknya saja mendaki gunung... karena bisa langsung dinikmati kalau di Dieng.. gunung gunungnya juga ramah sebenarnya untuk didaki bagi orang tua seperti saya.
Yang jelas kalau di Jakarta saya terbiasa dengan rutinitas mencari sebongkah berlian dan sesuap nasi, dengan kegiatan kegiatan lain yang begitu padat, rapat sana rapat sini... macet, panas, berdebu, covid, dll maka ke Dieng itu ibarat mencicipi surga yang di telapak kaki ibu. hehehe...
Tentang pemandangan alam ini, saya hanya menikmati 3 tempat wisata yang sangat populer di sana; candi Arjuna, kawah Sikidang, dan di Pintu Langit. Bisa ditebak mana tempat yang sangat ingin saya kunjungi dan belum terkunjungi padahal terkenal indahnya? Sikunir... yak Sikunir dengan Golden Sunrisenya. Bukan karena saya ga bisa berjalan kaki menanjak... bukan. Tapi karena saya harus 'ngemong' orang orang muda pada jamannya yang lima atau sepuluh tahun lalu sudah mesti purna bhakti dalam pekerjaan dan karya mereka. Hanya ada beberapa orang dalam rombongan yang benar benar masih seusiaan saya. Ya sudah Pe-er Moga moga Tuhan masih memberi kesempatan untuk ke sini lagi.
Sebagai pelengkap saja kenapa daerah ini pemandangannya indah tentu saja selain karena hamparan awan hingga tempat ini disebut sebut sebagai negeri di awan yang konon menginspirasi mendiang Andre Manika ketika mencipta lagu berjudul sama, juga karena hamparan perbukitan dengan tanah tanah pertanian berbagai macam jenis. Pepohonan yang menghijau di sana sini penghirup polusi Jakarta kalau nyambung. hehehe... kayaknya kejauhan ya...
Sayang sekali demi kepentingan bisnis ada banyak hal berubah antara situasinya Dieng sekarang di tahun 2023 dengan Dieng 10 tahuan silam. Lebih banyak kreativitas sentuhan sentuhan yang berbau modifikasi sehingga bagi saya terasa kehilangan roh orisinalitasnya. Dulu, Candi Arjuna masih relatif sedikit alami dengan tanah lapang yang relatif luas dan ga ada kain kain yang mesti dipakai pengunjung. Sekarang jadi lebih sempit dan sedikit berbudaya dengan adanya panitia wisata di sana yang menyediakan dan mengharuskan pengunjung menggunakan kain kotak kotak ala kainnya Bima di wayang kulit Jawa. Tapi tempat masuknya juga menjadi seperti labirin... Atau di kawah Sikidang yang jalur kunjungannya sudah ditentukan berbeda pintu masuknya. entah mengapa saya merasa yang dulu masih lebih natural dibandingkan yang sekarang. Ini hanya masalah perspektif, cara pandang, dan selera saja.
Cuma nuansa 'keuangan' yang memaksa pengunjung ini yang sepertinya harus dilihat lagi. Bahkan ini sejak awal di gerbang masuk ke Dieng. Nanti di bagian akhir akan saya ceritakan.
Keindahan artefaknya juga sebenarnya menarik kalau kita memang punya sense of history, memang menarik bagi yang tertarik. Ada banyak peninggalan peradaban jaman dahulu kala, termasuk candi candinya itu adalah candi candi peninggalan masa lalu. Kalau ada candi, ada perlengkapan lainnya yang masih ditemukan di sini. Ada Dharmasala, semacam pendapa sebelum ke candinya, ada Ondo Budho dan juga tuk bimo lukar yang sudah tidak lengkap lagi. Jangan lupa saluran saluran air kuno sebagai bentuk kecanggihan arsitektur kota jaman dulu untuk menghindari banjir dan longor di daerah tersebut juga masih bisa ditemukan. Masing masing sebenarnya ada ceritanya sendiri.
Tapi bayangkanlah kini ada perkotaan jaman kuno di tanah Jawa ini. Candi candinya lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan di Borobudur maupun di Prambanan yang itu saja sudah besar. tentu sangat megah bukan? Sejauh saya ingat dan saya mencermati dari Asisi Channel di kanal Youtube, awalnya Dieng adalah tempat di mana para pemuka agama dan padepokan, semacam pesantren jaman sekarang, tempat di mana para cerdik pandai dan juga pembuat candi yang baru pulang belajar dari India kemudian mempraktekkan keahliannya. Pusat keagamaan saat itu ada di tempat ini sebelum adanya candi Borobudur, prambanan, kalasan, dan candi candi lainnya. Jadi selain sebagai tempat berdoa juga tempat peradaban. Di sini ada ribuan candi, semestinya. Karena masing masing ahli candi yang belajar tadi berpraktek di tempat ini.