Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Virus Corona dan Teori Evolusi

Diperbarui: 3 Maret 2020   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi virus corona. (sumber: shutterstock)

Teori evolusi itu seru... dihujat tapi sekaligus dijadikan dasar dalam berbagai kajian ilmiah... ditolak dengan amat sangat tapi juga diterima di sisi lain. Salah satunya di bidang medis, sebagian besar menerima atau menggunakan dasar dari teori evolusi ini dengan asumsi dasar survival of the fittest. Bukan hanya untuk ilmu ilmu alam, tapi juga untuk ilmu ilmu sosial. 

Sebutlah misalnya dalam kajian sosialnya Herbert spencer. Secara sosial, menurut Spencer, dan demikianlah yang terjadi, masyarakat yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang akan bertahan hidup (survive), sedangkan masyarakat yang yang tak mampu menyesuaikan diri terpaksa menemui ajalnya. Sedangkan, dalam biologi, teori ini mendapatkan basis pembenaran dalam genetika dan hubungan genetik antar spesies.

Memang kita masih bertanya tanya, bagaimana hal ini kemudian diterapkan. Setidaknya, keberhasilan pencangkokan organ tubuh manusia ke organ tubuh spesies lain menunjukkan kemungkinan ini. 

Keberhasilan ilmuwan yang menanam jantung manusia, secara genetis ke tubuh babi, ataupun otak manusia ke kepala monyet menjadi salah satu kekuatan argumentasi mereka. 

Masalahnya memang secara moral adalah boleh dan tidaknya. tapi secara keilmuan, bukan sesuatu yang haram untuk mencari jawaban segala macam pertanyaan. Tidak boleh bukan berarti tidak bisa. Bisa, juga bukan berarti boleh. Saya ingin membahas di bagian "bisanya" dulu. Ke-bisa-an itu menunjukkan adanya hubungan lintas spesies secara genetika.

Adanya wabah penyakit ini, juga menunjukkan kebenaran teori evolusi. wabah penyakit, umumnya mengguncang masyarakat manusia di awal awal. hal ini berkaitan dengan ketidaksiapan mereka terhadap sesuatu yang 'baru' saja terjadi. Nanti, lama lama juga akan bisa survive kembali, setelah mencapai keseimbangan. Sebutlah misalnya ketika dulu pes masih baru barunya. 

gambar dari cdn.prod.www.spiegel.de

Di eropa membunuh jutaan orang baik warga Eropa sendiri maupun warga Mongol yang akan menginvasinya dan membawa virus ini. Sekarang, wabah pes sudah hampir tidak ada setelah berbagai penelitian menemukan penangkalnya. 

Tapi sama, seperti penyakit yang lain, bukan berarti virus ini sudah tidak ada atau musnah, tapi dia sudah beradaptasi dan sewaktu waktu dalam kondisi tertentu akan menghadirkan wabah juga. 

Pada dekade 1980an, HIV/Aids juga menjadi wabah masyarakat manusia, menelan korban yang tidak sedikit. Virusnya berasal dari kera besar. Tahun 2000an ke sini, ada flu burung dan flu babi yang lama lama juga dengan prinsip yang sama mereda setelah dicarikan penangkalnya oleh para ilmuwan. Ada juga SARS dan Ebola yang berasal dari kelelawar dan menyerang manusia.

Terakhir yang sedang heboh dan menjadi kekhawatiran kita bersama adalah virus corona. Virus ini menyebar tanpa mengenal suku, buidaya, agama, dan ras. Jadi kalau ada klaim klaim religius berkaitan dengan persebaran virus ini kok, kita harus berhati hati dahulu sebelum mengakuinya sebagai sebuah kebenaran. 

Sekali lagi, hal ini menjadi wabah bersama karena ketidaksiapan manusia terhadap peristiwa ini, dan butuh waktu cukup lama untuk mencari penangkalnya. Salah satu caranya dengan menyelidiki RNA proteinnya bagaimana terus hal itu bisa dilawan dengan apa itu yang yang harus dipetakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline