Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Mayoritas Bukan Tuan Rumah dan Minoritas Bukanlah Penumpang

Diperbarui: 24 Mei 2017   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari www.goodnewsfromindonesia.id

"Kalau penistaan agama itu seperti kasus Ahok. Berbeda dengan hal itu (pemakaian bahasa Arab). Misal saya jadi warga negara Amerika, terus saya agamanya Islam dan saya meledek agama mayoritas di sana. Nah saya pasti dibilang orang stres," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono. Kalimat tersebut disampaikan kaitannya dengan penggunaan kata juz sebagai kode dalam korupsi antara Kurniawan dan Yudi. Logikanya sederhana, karena penuturnya atau yang menggunakannya adalah orang Islam dan itu termasuk golongan mayoritas, maka itu bukanlah sebuah penistaan. Berbeda seandainya ini yang menggunakan atau memakainya adalah orang Kristen, katakanlah apalagi, Ahok... sudah bisa dipastikan akan ada demo berjilid jilid kalau sampai tidak diusut. MUI segera berkepentingan untuk menyatakan sikap keagamaan. Berbeda kasusnya dengan sekarang, yang menggunakan adalah 'orang dalam' tidak perlulah sikap keagamaan. Pertanyaannya, adilkah cara pandang semacam ini?

Pertanyaan tersebut kemudian mengantar pada pertanyaan lain sebagai pendalaman, keadilan itu mutlak, universal, atau relatif? Kalau keadilan mengacu pada sebuah nilai moral, harus dilihat bahwa nilai moral yang dicari oleh semua orang ini semestinya adalah nilai yang universal, nilai yang mutlak dengan ukuran yang mungkin sulit tapi haruslah jelas. Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Adil diartikan sebagai "1 sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak:-; 2 berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang."

Maka di situ kelihatan ketika ada dikotomi antara mayoritas dan minoritas, maka pertanyaannya: berat sebelah tidak? memihak tidak? kalau ini pada acuan arti pertama. Paradoks terjadi, ketika keadilan justru berpihak pada yang mayoritas dengan posisi di pihak yang kuat. Mengapa ini paradoks? nanti kita lihat dalam konteks rasional filosofisnya, bahwa namanya keadilan justru harus menguntungkan pihak yang lemah.. pihak yang sulit untuk mengakses keadilan itu. Maka, ungkapan bahwa keadilan berarti ketidakberpihakan dalam arti netral, di sini menjadi tidak lagi netral. Dalam arti ini, keadilan jelas dilanggar.

Berikutnya, adil juga dimaknai sebagai berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran. Bisa dipertanyakan kembali, apakah cara pandang di atas secara rasional berpihak pada yang benar? Lihatlah bahwa apa yang disampaikan AHok, sesungguhnya juga disampaikan oleh tokoh tokoh lain, terutama dari pihak Islam. Tak kurang, banyak tokoh Islam yang juga bukan orang jahat dan bodoh, berada di pihak yang mendukung Ahok. Bahwa yang disampaikan Ahok itu benar adanya. Buya Syafii Maarif, Quraish Sihab, dll... Sementara sekarang, kasus ketika penggunaan kata juz jadi kode untuk korupsi, jelas ini penistaan yang tidak diperdebatkan lagi. Maka, sebenarnya, adil di sini berpihak pada yang mana?

Lalu dikaitkan dengan pengartian ketiga bahwa adil berarti tidak sewenang wenang, pertanyaannya dengan pernyataan di atas, ketika keadilan ada dalam dikotomi mayoritas minoritas dan lebih menguntungkan pihak minoritas, ada tidak unsur kesewenangwenangan di sini?

Seolah olah, dengan demikian mayoritas lebih punya hak dibandingkan dengan minoritas. Dalam konteks keadilan di sini sudah tidak adil sejak dari akarnya. Dikotomi itu punya konsekwensi yang sebenarnya bertentangan dengan tujuan didirikannya negara ini karena di situ seakan akan mayoritas adalah tuan rumah sedangkan minoritas adalah penumpang yang semata mata tergantung pada kebaikan hati si tuan rumah.

John Rawls, seorang pemikir sosial tentang keadilan membedakan antara prinsip kesamaan (equality) dan prinsip ketidaksamaan (inequality). Secara sederhana, saya memahami prinsip kesamaan itu adalah prinsip kesamaan di depan hukum, misalnya. Di situ tidak ada pembedaan antara mayoritas minoritas, dalam arti kwantitas, tidak ada pembedaan dalam arti gender, tidak ada juga pembedaan dalam arti kwalitas misalnya secara intelektual. Sama, semua kedudukannya sama di depan hukum. Pun demikian, untuk menetapkan sebuah keadilan perlulah kemudian mempertimbangkan asas ketidaksamaan. Yang sebenarnya dipikirkan oleh Rawls kaitannya dengan asas ketidaksamaan ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi, bisa juga berlaku dalam arti hukum. Di hadapan hukum, siapa saja memang sama kedudukannya, toh demikian juga harus dipertimbangkan bahwa masing masing khas, punya latar belakang yang berbeda beda, sehingga keadilan tidak bisa disamaratakan.

Lebih lanjut, Rawls berpandangan bahwa ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian rupa sehingga: (a) paling menguntungkan bagi yang paling tertinggal, dan (b) posisi-posisi dan jabatan-jabatan terbuka bagi semua di bawah syarat kesamaan kesempatan yang fair. Dalam kasus hukum dan sosial saya menerjemahkannya bahwa hukum setidaknya menguntungkan dia yang dalam posisi sulit mendapatkan keuntungan dan harus fair. Dalam dikotomi mayoritas minoritas, mana yang lebih rawan ditekan dan mendapatkan ketidakberuntungan? Dalam arti tertentu, jumlah yang banyak jelas menguntungkan dan memberikan ketidakuntungan bagi yang jumlahnya sedikit. Apalagi dalam konteks demokrasi.

Saya beri contoh sederhana: Ada lomba lari, di situ siapa saja boleh memenangkan dan mendapatkan hadiah.

Lalu di antara peserta ada yang cacat kakinya, ada yang pelari profesional. Kalau kemudian panitia mengatakan dan tetap ngotot, siapa saja silahkan berlari dan memenangkan perlombaan, kira kira ini adil atau ga? Fair tidak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline