Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Penerapan Kembali Hukuman Mati di Filipina, Langkah Maju atau Langkah Mundur?

Diperbarui: 17 Mei 2016   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duterte, gambar dari http://www.cnnindonesia.com/

Pertanyaan awal yang sederhana, manakah yang bisa disebut sebagai bangsa yang beradab, bangsa yang masih menerapkan hukuman mati, atau yang menghapuskan hukuman mati. Di sini kita akan sedikit mengukur dan mungkin belajar dari Filipina, menghidupkan kembali hukuman mati itu langkah maju atau langkah mundur. Kalau yang menerapkan hukuman mati dianggap sebagai bangsa yang beradab, jelas jawabannya menerapkan hukuman mati kembali merupakan sebentuk langkah maju sebuah bangsa. Sebaliknya, kalau penghapusan hukuman mati dianggap sebagai kemajuan peradaban, penerapan hukuman mati dianggap sebagai langkah mundur.

Adalah presiden terpilih di Filipina yang berencana menghidupkan hukuman mati di sana. Presiden itu mengatakan akan kembali menerapkan hukuman mati di negara tersebut. Dia juga sebelumnya mengatakan akan memberikan wewenang aparat untuk "menembak mati" pelaku kejahatan yang melawan. Dia mengatakan bahwa hukuman mati perlu kembali diterapkan untuk memicu rasa takut. Menurut dia, "Jika tidak ada rasa takut pada hukum, atau dalam mematuhi hukum, maka tidak berguna."

Selain itu dia juga mengatakan, “Jika Anda melawan, menunjukkan perlawanan dengan kekerasan, perintah saya kepada polisi untuk menembak mati tersangka. Serta, tembak mati para penjahat terorganisasi. Kalian dengar itu? Tembak mati semua penjahat terorganisir,” tegas Duterte.

Menanggapi hal itu, di Filipina yang mayoritas Katolik, membuat reaksi keras. Konferensi wali gereja Filipina menolak penerapan kembali hukuman mati tersebut. Apakah ini berarti para uskup mendukung banyaknya kejahatan yang terjadi di sana? Para uskup menyatakan bahwa pencegahan kejahatan tidak terletak pada tingkat keparahan hukuman, “tetapi memastikan bahwa para pelaku bertanggung jawab atas kejahatan mereka dan yang bersalah dihukum”. (indonesia.ucanews.)

Namun kita tahu bahwa banyak masyarakat Filipina yang sepertinya muak dengan perilaku pejabat konvensional yang biasa-biasa saja, lurus-lurus saja sesuai dengan asas-asas moralitas yang berlaku di sana namun menyisakan banyak permasalahan, termasuk kasus korupsi, narkoba, maupun kejahatan jalanan. Kemuakan semacam inilah yang kemudian memunculkan sosok kontroversial ala koboy sebagai pemimpin. Duterte menang telak dalam pemilihan presiden. Sikapnya yang "nyolot" kepada pemangku otoritas moral, dalam hal ini Gereja katolik, justru menarik banyak pihak. Hal ini mengingatkan saya pada sosok Donald Trump dari Amerika Serikat. Duterte dikenal sebagai sosok yang tegas dan pemberani. Meskipun setelah itu ada itikad dari pihaknya untuk meminta maaf, tetap saja pandangannya untuk menghidupkan kembali hukuman mati mendapatkan tentangan keras.

Filipina telah dua kali menghapuskan hukuman mati, pertama tahun 1987, menjadikannya negara Asia pertama yang menghapuskan eksekusi mati, dan kedua pada 2006. Pada penghapusan hukuman mati kedua, sebanyak 1.230 tervonis mati di Filipina diubah hukumannya menjadi penjara seumur hidup. Menurut Amnesty International, ini adalah pengampunan hukuman mati terbesar di dunia. Penghapusan semacam ini mendapatkan apresiasi dari banyak negara dan juga dari PBB sebagai langkah maju. Maka, kalau acuannya adalah seruan PBB untuk mengedepankan kemanusiaan, menghidupkan kembali hukuman mati jelas merupakan langkah mundur bagi Filipina.

Namun, kalau acuannya adalah kerinduan masyarakat pada adanya "ketakutan" penjahat melakukan kejahatan, langkah menghidupkan kembali hukuman mati merupakan langkah maju yang akan didukung oleh banyak kalangan di sana. Sebenarnya kalau dilihat dari segi banyaknya pelaku kejahatan di Filipina, banyaknya tindak kejahatan tidak terlalu signifikan berubah antara sebelum dan sesudah penghapusan hukuman mati. Hal ini juga mengingatkan saya pada jumlah pelaku kejahatan narkoba di Indonesia yang juga tidak berubah banyak antara sebelum dan sesudah eksekusi mati di era Jokowi. Penegakan hukum semata seringkali tidak bisa mengikuti kecanggihan perkembangan kejahatan internasional yang selalu mengubah pola dan bentuk kejahatan mereka. Sesungguhnya, efek jera hukuman mati lebih merupakan ilusi daripada solusi.

Maka bagi saya, bukan masalah penerapan hukumannya yang bermasalah dalam kaitannya dengan hukuman mati. Tapi hukumnya sendiri menjadi hal yang harus dipertimbangkan lebih jauh. Hukum sendiri harus ditegakkan. Karena bagaimanapun, baik menerapkan hukuman mati atau menghapuskannya, keduanya membutuhkan ketegasan dan komitmen. Yang menjadi masalah kan sebenarnya sikap tidak jelas, mau menghapus atau menerapkan. Saya tidak akan membahas pro dan kontranya, sudah terlalu banyak diskusi. Yang jelas, menilik pada nurani setiap orang bisa menjawab pertanyaan awal ini, manakah yang bisa dikatakan lebih beradab, negara yang menerapkan hukuman mati atau negara tanpa hukuman mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline