Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Semestinya Kita Takut

Diperbarui: 17 Januari 2016   16:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gambar dari http://cdn.tmpo.co/data/2016/01/14/id_473016/473016_620.jpg"][/caption]Menjadikan peristiwa terorisme sebagai bahan candaan sesungguhnya absurd. yang ditertawakan, mungkin memang ada sesuatu yang konyol di sisi-sisi lainnya, pada pada prinsipnya adalah masalah kemanusiaan. Kita sedang menghadapi persoalan kemanusiaan. Ya, menertawakan teroris seperti kita menertawakan aborsi, menertawakan gnosida, menertawakan perang. Dan sesungguhnya kita diajak perang dengan cara tertawa. Kita seperti diajak untuk menonton comedy dengan pertaruhan nyawa dan ketakutan.

Memang masalahnya adalah apakah kita harus takut? bukankah itu berarti bahwa tujuan teroris untuk menanamkan rasa takut telah tercapai? Saya pikir, kita harus jujur. ketika kita bicara tidak takut, benarkah memang kita tidak takut? atau jangan-jangan kita tidak tahu. Saya yakin, mereka yang menertawakan peristiwa terorisme itu bukanlah orang yang saat itu terlibat di sana, terlibat di dalamnya. Apalagi menjadi korban atau keluarga korban. Jadi suasananya sungguh-sungguh menjadi panggung komedi. Seperti horor komedi.

Padahal apa yang sebenarnya mereka tertawakan? mereka menertawakan kebodohan dan kegagalan para teroris tersebut. Dan memang benar, para teroris itu saat ini sedang gagal atau katakanlah sudah gagal. Kalau parameternya adalah rasa takut akan teror tersebut. tetapi sungguh-sungguhkah gagal? Saya tidak yakin. Memang dikatakan bahwa cara mengatasi hal tersebut karena kita bersatu. Pertanyaannya, benarkah kita sesungguhnya bersatu? Banyak sisi dan sudut lain yang menunjukkan bahkan menanggapi aksi terorisme itu dengan ketidaksatuan.

Ada yang tertawa, ada yang menangis, ada yang mencibir pemerintah karena dianggap kecolongan, ada yang mengatakan ini settingan, dll. Kesatuan dalam hal apa? Dan di sinilah kita justru harus berfikir ulang, dengan ketidaksatuan itu sesungguhnyalah penyebab utama intelejen kita kecolongan. Kita mengatakan bersatu, namun sesungguhnya munafik karena dengan mengatasnamakan kesatuan itu toh nyatanya masyarakat kitalah yang melahirkan tokoh-tokoh yang kemudian kita kenal dengan teroris tersebut.

Kita memang menertawakan kebodohan teroris itu yang kemudian gagal, namun sesungguhnya kita juga pantas ditertawakan karena bagaimanapun juga sistem nilai dalam masyarakat kitalah yang melahirkan mereka. Maka, kalau saya katakan kita seharusnya takut bukan takut pada mereka, tapi takut bahwa hal-hal semacam ini akan terulang kembali sejauh sistem nilai kita belum secara radikal menyentuh dimensi kemanusiaan. Harga nyawa terlalu murah di Indonesia, dalam banyak hal. Mulai dari dokter yang mudah melakukan malpraktek, sampai pada teroris yang gagal. Kita belum menyentuh sisi kemanusiaan salah satunya karena mengedepankan sisi teologis.

Kalau Tuhan menghendaki, kita bisa mati kapan saja, di manapun, bagaimanapun. Begitu kurang lebihnya sehingga kemudian muncul ungkapan, kenapa harus takut mati. Kita percaya Tuhan, yang penting amal perbuatan kita baik dan siapkan diri menghadapi pengadilan akherat.

Bukan berarti saya tidak percaya pada kematian dan pengadilan akherat, tapi kemudian mari kita renungkan sejenak, bukankah penilaian akan yang baik dan yang buruk itu relatif? bagi mereka yang rela mati, memperjuangkan ideologi mereka dan menganggap itu sebentuk perjuangan yang baik, melawan kemaksiatan dan ketidakadilan. Ini kan kebaikan dalam versi mereka sendiri? cerita lain ada seorang koruptor yang terbukti tapi kemudian merasa dizalimi. Seorang perempuan tahanan KPK yang menangis tersedu-sedu karena rasa cintanya pada anaknya. Ya, sebenarnya kita terlalu masuk pada tekanan emosi afeksi dan kehilangan sisi rasionalitas.

Lantas kemudian, ini yang dibuat seakan-akan ada lembaga yang punya otoritas untuk menentukan ini baik ini salah. pelajaran agama dibuat untuk menangkal ajaran-ajaran radikal yang seakan-akan mengajarkan yang benar dan para guru disertifikasi untuk bisa mengajarkan agama jangan sampai menyimpang. Permasalahannya bukan di sana, memang ada beberapa yang terkait dengan materi, tapi jauh dari itu adalah bagaimana membangun nalar yang rasional. Sehingga dalam hal inipun kemudian kita membangun moral secara rasional juga.

Moral yang diajarkan cenderung bersifat doktriner daripada rasional. Maka jangan salahkan kalau kemudian mereka juga menerima doktrin-doktrin yang melawan akal sehat kita. Apa yang mereka ajarkan menjadi ukuran kesahihan sebuah penilaian terhadap doktrin yang berbeda. rasionalisme, liberalisme, dan pemikiran kritis terhadap doktrin dikutuk. Tapi kemudian, ketika ada doktrin lain yang merugikan kita cuci tangan dan sekarang ditertawakan. Padahal itu sistem lain dari yang terjadi di Indonesia.

Sederhananya, kita cenderung mengatakan kalau sudah diajarkan ini adalah kehendak Tuhan, sabda Allah, dll pantang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Lalu, itu juga yang terjadi pada mereka dengan versi yang berbeda. Inilah yang saya katakan, sistem nilai kitalah yang melahirkan mereka. Dan sejauh kita masih terkungkung dalam doktrin-doktrin semacam ini, kita semestinya takut, takut kejadian ini akan terulang kembali.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline