Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Media Mempertontonkan Wajah Bangsa yang Cengeng!!!

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Bagaimana perasaan adik tinggal di pengungsian? senang?"

Mungkin pertanyaan semacam itu dianggap biasa saja, karena sangat banyak yang menanyakannya. Tapi bagi saya, tidak biasa saja. Dalam teori humor, ini lucu sebenarnya karena tidak selaras itu lucu. Namun dalam konteks bencana, kok ini justru memprihatinkan ya. Pasalnya, pertanyaan itu sangat retoris. Saya tidak membayangkan seandainya si anak lalu menjawab, "ya, saya senang sekali. Temannya banyak!"

Padahal yang mau diarah jelas, reporter tersebut sedang ingin mengekspose dan memberitakan kesedihan anak-anak di tempat pengungsian. Kalau hanya satu dan sekilas saja, barangkali tidak terlalu bermasalah dan berpengaruh. Masalahnya, media itu punya sebuah hasrat mimesis. Hasrat mimesis adalah kegairahan yang tiba-tiba muncul karena banyak orang meminatinya, padahal sebenarnya dia sendiri tak tertarik. Oleh karena itulah, hampir semua media kemudian menayangkan hal serupa, hanya bentuknya saja yang berbeda. Berita yang sama diulang terus-menerus. eksploitasi kesedihan semacam ini ditampilkan terus menerus dan bersamaan di berbagai media. Jadinya hanya memunculkan wajah-wajah cengeng yang membutuhkan penghiburan.

Kemudian, kita melihat juga bagaimana para pengungsi kemudian ditanyakan, "bapak, apakah bapak sudah mendapatkan bantuan?"

Wajah-wajah yang menangis meminta belas kasihanpun bermunculan. Ketika SBY kemarin datang berkunjung ke Sinabung, ada warga yang diwawancarai tentang distribusi bantuan. Yang bagi saya masih terkenang adalah tangisan seorang bapak yang mengatakan, "bantuan sudah ada, tapi kami merasa tidak adil. Hanya sebagian saja (sebagian tenda saja) yang mendapatkan. Sedangkan kami tidak dapat.... tolonglah pak, supaya kami-kami ini juga dapat!"

Apakah saya akan mengatakan, ah, lebay... begitu saja menangis! tidak. Tapi saya melihat tangisan yang semacam itu biasa saja. Mengapa harus dieksploitasi lagi? Apakah dengan demikian lalu tangisan mereka terobati? Apakah tujuannya untuk menggugah hati masyarakat? mungkin ada benarnya demikian. Tapi, eksploitasi yang berlebihan justru akan memunculkan kesan masyarakat kita kebanyakan adalah masyarakat yang cengeng dan peminta-minta.

Mengapa kemudian tidak kita buat sebuah gambaran mentalitas masyarakat kita adalah masyarakat yang tegar dan punya wibawa? tegar artinya bagaimana masyarakat siap untuk berjuang, berani menghadapi kenyataan, dan bagaimana pihak-pihak yang terkait bisa bersikap sebagaimana mestinya (toh ini sudah dilakukan) untuk membantu mereka? akan lebih berwibawa kalau kemudian ditampilkan betapa dahsyatnya bencana, tapi tidak diterima dengan tangisan yang berlebihan, namun segera bangkit dari keterpurukan!

Amerika sering dilanda Tornado yang sangat dahsyat, Australia diterjang angin panas yang mengakibatkan kebakaran hebat, Jepang berulangkali diterjang gempa dan tsunami. Saya tidak menangkap kesan mereka kemudian menjadi peminta-minta? Bayangkan kalau jurnalis ala media kita datang ke jepang, bertanya: adik, bagaimana tinggal di pengungsian, senang?

Atau wartawan datang ke Amerika, bertanya pada korban tornado, "bapak, apakah bapak sudah mendapatkan bantuan dari pak presiden?"

Saya merenungkan, di tempat-tempat yang bencananya juga sangat hebat itu tidak cengeng karena mereka bisa menerima kenyataan, mereka sudah mempersiapkan dengan belajar dari masa lalu, pemerintah juga sigap membuat koordinasi penanganan. Hal ini agak berbeda dengan di Indonesia, alih-alih membangun wajah bangsa yang tegar, yang ada permasalahan bencana malah dipolitisasi.

salam kompasiana!!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline