Lihat ke Halaman Asli

Herulono Murtopo

Profesional

Pelecehan Ilmu Statistika

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

140506369111281064

Tiga lembaga survei yang hasilnya memenangkan kubu Prabowo-Hatta tidak memenuhi panggilan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Padahal, diharapkan perhimpunan ini menjadi 'gerbang moral' untuk lembaga-lembaga survei yang ada di Indonesia. ketiga lembaga survei yang tidak hadir itu adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI).

[caption id="attachment_314983" align="aligncenter" width="380" caption="gambar dari faizal-telematika-smart.blogspot.com"][/caption]

Rencananya, ketiga lembaga survei itu diminta untuk mempresentasikan hasil kajiannya, termasuk berkaitan dengan sumber data, metodologi, juga tingkat akurasinya. Dalam dunia akademis, memang dikenal sebuah adagium yang mengatakan bahwa salah boleh, tapi tak boleh bohong. Hal ini memiliki adagium tandingan dalam dunia politik yang mengatakan bahwa bohong boleh, tapi tak boleh salah. Ya, kesalahan yang dimaksud di sini tentu tak boleh mengancam partai politik. Salah sedikit saja, bisa hancur karier suatu partai. Nah, dalam kasus ini sepertinya berlaku adagium yang lain, dalam politik media, seperti mau menyampaikan sinyal boleh salah sekaligus boleh bohong. Ini sungguh merupakan 'pelacuran' dalam dunia intelektual. Kapitalisasi dunia akademis. Seolah survei yang metodologinya jelas, menjadi suka-suka, tergantung pada kepentingannya.

Kemarin saya ngobrol dengan beberapa teman dosen. Salah satunya membicarakan tentang akurasi metodologi yang digunakan oleh lembaga-lembaga survei tersebut. TV ONE yang sering menyelenggarakan acara debat, bahkan yang sangat berkelas semacam Indonesian Lawyers Club, bisa ga menyelenggarakan debat akurasi metodologi lembaga survei ini. Baiklah kalau kemudian LSN dkk berdebat dengan LITBANGnya KOMPAS berkaitan dengan akurasi metodologinya. Dengan demikian akan kelihatan bagaimana pertanggungjawaban ilmiah atas lembaga-lembaga survei yang ada.

Statistika sepertinya sedang menjadi fakultas yang paling banyak disorot saat ini. Orang menjadi tertarik dan penasaran dengan dunia penelitian kwantitatif ini. Sekaligus, banyak awam yang mempertanyakan kredibilitas ilmu ini. Kalau memang ilmiah, kok hasilnya bisa berbeda-beda? Dosen sosiologi saya, seorang doktor lulusan Cornell University (yang sudah menulis buku sosiologi, antropologi, dan budaya) beberapa tahun yang lalu pernah mengatakan, "hari gini percaya kwantitatif?"

Barangkali fenomena semacam inilah yang menjadi salah satu pemicu di mana metode kwantitatif tidak terlalu dipercayai dalam dunia akademis. Tapi toh, angka-angka akan tetap bergengsi dalam bahasa ilmiah. sekedar joke saja, kalau anda bicara dengan angka, maka anda akan kelihatan cerdas. Dalam beberapa kali survei sebelumnya, kebanyakan hasil quick count tidak terlalu jauh perbedaannya dengan hasil real countnya. Bahwa ada beberapa kasus yang berbeda, tentu itu kasus khusus yang masuk dalam margin error. Itulah pentingnya margin error ditampilkan. Seakan mau mengatakan bahwa dalam skala persen, meskipun kecil, hasil survei kami bisa saja salah. Tapi kesalahan itu kemungkinan itu sangat kecil.

Nah, sekarang bagaimana dengan perbedaan hasil quick count yang ada? saya hanya mau memperbandingkan masalah margin errornya saja. Kalau data Puskaptis bersama TV ONE yang menurut data di bijaks.net menunjukkan hasil Prabowo-Hatta unggul 52,o5% dan Jokowi-JK hanya 47,05% dengan margin of error katakanlah 2% itu mau mengatakan bahwa hasil lain yang berbeda kemungkinan salahnya mencapai 98%. Dengan demikian, kemungkinan sangat besar data dari LSI, Litbang KOMPAS, RRI, dll adalah salah. Kemungkinan kesalahan mereka, menurut Puskaptis adalah 98%. Padahal, klaim Puskaptis margin of errornya di bawah 1%. Mengandaikan data lain 99% lebih salah.

Cara membaca data termudah adalah dengan melihat perbandingan jumlah hasil dan melihat rekam jejak masing-masing lembaga survei. Di sinilah pertaruhan kredibilitasnya benar-benar terjadi. Kalau rekam jejaknya ternyata banyak ketepatan yang terjadi maka lembaga itu kredibel. Tapi kalau rekam jejaknya, katakanlah LITBANG KOMPAS selama ini sering meleset, nah, itu baru bisa dikatakan tidak kredibel. Salah satu yang pernah meleset dan membuat manipulasi data, menurut tribunnews.com adalah lembaga puskaptis ini.

Keterlaluan

Baik Mahfud MD maupun Prabowo sebenarnya keterlaluan ketika menuduh lembaga-lembaga survei yang memenangkan kubu Jokowi JK adalah survei 'bayaran'. Katakanlah semacam Indikator Politik yang digawangi Burhanudin Muhtadi memang dibeayai Metro TV. Ini masalah beaya. Bukan masalah hasilnya. Dalam sebuah seminar, yang pernah saya tuliskan di sini juga, data tidak bisa dimanipulasi meskipun itu pahit untuk penyandang dananya. Dan persis itulah yang terjadi pada Hanta Yudha. dia tidak bisa memanipulasi data yang sudah dikontrak oleh TV ONE karena dengan metodologinya dalam quick count memang kemenangan ada di kubu Jokowi-JK. Akhirnya kontrak dibatalkan.

Tapi ini sekaligus menjadi preseden baik dalam membongkar skandal politisasi data ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline